KH. Abdullah Abbas yang pada akhir hayatnya memangku posisi Mustasyar PBNU dalam sebuah pesannya terhadap anaknya pada momen Muktamar NU tahun 2004 menekankan bahwa pentingnya menghadiri pertemuan ulama dengan harapan mendapat berkah. Salah satu berkah yang jelas didapat dari Muktamar adalah ilmu, banyak majlis-majlis atau forum-forum ilmu yang diadakan dalam rangka muktamar baik itu sebagai rangkaian acara seperti Bahtsul Masail yang terbagi menjadi Komisi Waqi’iyyah, maudhu’iyyah, dan qanuniyyah maupun acara-acara pengiring seperti Seminar, Bedah Buku, dan sebagainya.
|
KH. Maimun Zubair tampak dari samping tengah berdiri saat Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan |
Dari sumber-sumber ilmu di atas, tentu sangat tidak lengkap kalau kita tidak menyebutkan ilmu yang bersumber dari para ulama, baik itu berupa kalam maupun berupa keteladanan yang mewujud pada tindakan nyata, hasil refleksi dari ketawadhuan, keikhlasan, dan hal-hal positif lainnya yang masih begitu sulit diamalkan oleh manusia amm (lihat dawuh KH. Maimun Zubair pada tulisan sebelumnya, Mengaji dari Arena Muktamar ke 33 NU Bagian Awal).
Keteladanan pertama mengemuka ketika potret KH. Maimun Zubair -yang sudah kesulitan menopang tubuhnya namun tetap berusaha bangkit dari kursi rodanya untuk tetap berdiri sambil kedua tangannya bertopang kepada tongkatnya ketika mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada Pembukaan Muktamar NU- beredar ke publik. Tentu sudah banyak keteladanan yang beliau tunjukkan dalam membangkitkan semangat kebangsaan, namun di momen Muktamar ini, ada berjuta-juta pasang mata bisa “mengaji” kepada beliau sehingga momen ini begitu menginspirasi.
Masih di momen pembukaan Muktamar, kita masih bisa mengaji kepada KH. Maimun Zubair. Beliau begitu tawadlu memilih duduk di barisan ke tiga di belakang para pejabat bahkan di belakang para ajudan pejabat. Panitia bukan tanpa upaya untuk memberikan tempat atau posisi duduk yang lebih terhormat kepada beliau, namun beliau tetap bersikukuh untuk duduk di tempat yang sudah didudukinya. Sekalipun KH. Mushtofa Bisri turut membantu panitia dan membujuk KH. Maimun Zubair agar beralih ke tempat yang lebih pantas bagi beliau, beliau dengan segala kerendahan hatinya tetap menolak.
|
KH. Mushtofa Bisri sedang memohon kepada KH. Maimun Zubair agar berkenan pindah ke Kursi yang di depan |
Mengaji berikutnya berlangsung saat KH. Mushtofa Bisri, pelaksana tugas jabatan Rais ‘Am “turun gunung” untuk menyelesaikan deadlock yang terjadi pada pembahasan tata tertib sidang pleno. Sebelum mengaji keteladanan dari KH. Mushtofa Bisri, ada kisah KH. Sahal Mahfudz yang kita juga perlu mengaji darinya. Pada gelaran Muktamar sebelumnya di Makassar, Almarhum Almaghfurlah KH. Sahal Mahfudz kembali bersedia menjadi Rais ‘am bukan dalam rangka mengejar jabatan namun menyelamatkan NU dari terpaan badai politik dan kepentingan-kepentingan sesaat yang bisa menjebak warga Nahdliyyin meski beliau sadar bahwa menjaga marwah Rais Am Syuriah adalah teramat berat. Menjelang akhir hayatnya, Kiai Sahal memberikan pesan penting terhadap NU baik dalam konteks jama’ah maupun jam’iyyah tentang pentingnya strategi politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah, high politic) dalam wujud politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik agar NU tidak dapat dijadikan bemper kekuasaan. Lebih lanjut, Kiai Sahal mengatakan bahwa politik tingkat rendah (low politic) merupakan porsi partai politik dan warga Negara, termasuk warga NU secara pribadi. Di tengah derasnya terpaan badai politik tadi, Kiai Sahal berusaha merumuskan “formula” dalam rangka menyelamatkan NU atau menjaga keistiqomahan NU untuk tidak tercebur ke dalam politik tingkat rendah. Salah satu upaya dalam menjaga NU dari politik tingkat rendah adalah perintah beliau kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk segera memproses gagasan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (AHWA) dan membuat payung hukum metode ini untuk memilih seluruh jajaran pimpinan dalam tubuh NU, namun PBNU tidak menyanggupi untuk dibahas saat itu sehingga pembahasan ditunda dengan membentuk tim khusus yang kemudian hasil kajian mendalam dari tim tersebut dibahas pada Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar pada 2-3 November 2014 yang salah satu poin pembahasannya adalah system AHWA akan diterapkan bertahap sambil terus disempurnakan. Pembahasan kemudian ditindaklanjuti pada serangkaian Musyawarah Alim Ulama ke-3 pada 14-15 Juni 2015 dan disepakati beberapa hal tentang kriteria Rais Am hingga akhirnya pada 8 Juli 2015, PBNU mengeluarkan surat edaran engenai penerapan metode Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (AHWA) pada Muktamar NU ke-33.
Singkat cerita, AHWA yang tidak berangkat dari AD-ART atau kesepakatan Muktamar sebelumnya mendapat pro-kontra di Muktamar kali ini. Pembahasan Tata Tertib yang mencakup pembahasan AHWA ini hampir mengarah ke Deadlock hingga beredar headline surat kabar “Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyyah Teduh” dan akhirnya KH. Mushtofa Bisri mengambil alih sidang serta berusaha menjelaskan hasil pertemuan dan keputusan yang telah diambil bersama Kiai-kiai Sepuh yang mengambil jalan tengah dan tetap berdasar AD/ART. Dalam pemaparannya, Kiai Mushtofa Bisri menunjukkan kerendahan hati atau tawadlunya yang begitu tinggi, beliau sambil terisak mengatakan rela menciumi kaki semua mu’tamirin agar kembali ingat akan akhlakul karimah para pendahulu kita, tidak ada arogansi yang beliau tunjukkan meskipun saat itu beliau adalah pemimpin tertinggi NU. Dari kejernihan tindakan dan perkataan beliau, suasana sidang alhamdulillah kembali jernih.
Sudah khatam kah mengaji di Muktamar NU ke-33? Ternyata belum, mungkin semua mafhum dengan kisah saat KH. Bisri Syansuri wafat sebelum masa khidmat Rais Am nya berakhir dan dua Kiai –KH. R. As’ad Syamsul Arifin dan KH. Mahrus Ali- yang sebenarnya maqomnya sudah pantas menggantikan Kiai Bisri Syansyuri namun tidak bersedia sekalipun Malaikat Jibril atau Izroil datang dan memaksa salah satu dari mereka untuk meneruskan tugas dari Kiai Bisri. Kita juga mafhum ketika pilihan kemudian jatuh pada KH. Ali Maksum yang pada kesempatan Muktamar Luar Biasa tersebut berhalangan hadir, konon KH. Mustofa Bisri yang merupakan santrinya menjadi salah satu utusan yang datang ke Krapyak untuk membujuk beliau agar mengisi kekosongan pimpinan NU. Waktu itu, KH. M. Ali Maksum mengeluarkan maqola “Aku tak mau jabatan, tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab . . . “
Kisah serupa terulang di tanah kelahiran NU, Jombang. Sebelum AHWA melakukan pembahasan guna memilih Rais dan Wakil Rais Am, KH. Mushtofa Bisri mengajukan surat pengunduran diri yang kemudian dianggap oleh AHWA sebagai bagian dari akhlakul karimah beliau yang menolak memperebutkan jabatan sehingga AHWA menyepakati beliau sebagai Rais Am dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Rais Am.
Sesaat sebelum pemilihan Ketua Umum Tanfidzyah, Kita ternyata masih mengaji dari Kiai Mushtofa Bisri dan Kiai Ma’ruf Amin. Kiai Mushtofa Bisri kembali mengajukan ketidaksanggupannya mengemban amanah Rais Am sehingga Kiai Ma’ruf Amin yang kemudian akan mengisi posisi beliau. Jabatan pemimpin tertinggi dari ormas terbesar di Indonesia bahkan dunia sudah di depan mata, namun KH. Mustofa Bisri enggan mendudukinya. Nampaknya jika Kiai Mustofa Bisri mengikuti jejak gurunya, Kiai Ali Maksum yang setelah menjadi Pj. Rais Am memilih untuk tidak melanjutkan amanah Rais Am dan melapangkan jalan untuk KH. Achmad Shiddiq juga atau mengikuti KH. Ali Yafie, Pj. Rais Am setelah Kiai Achmad Shiddiq wafat yang memilih jalan serupa dengan Kiai Ali Maksum untuk melapangkan jalan Ulama lain menuju Rais Am yaitu Ajengan Ilyas Ruhiyat, maka Kiai Ma’ruf Amin mengikuti jejak Kiai Ali Maksum yang tidak berkenan dengan jabatan namun beliau juga merasa tidak bisa menghindari tanggung jawab. Di forum AHWA, Kiai Ma’rud Amin dipercaya sebagai Ketua Sidang namun beliau tidak memanfaatkannya untuk mendapatkan posisi Rais Am sehingga hasil keputusan (sementara) adalah mempercayakan Kiai Mushtofa Bisri sebagai Rais Am dan Kiai Ma’ruf Amin sebagai wakilnya meskipun Kiai Mustofa Bisri sudah melayangkan surat ketidaksanggupannya sebagai Rais Am. Hal ini terjadi karena Kiai Ma’ruf Amin hanya sanggup menduduki Rais Am setelah Kiai Mustofa Bisri benar-benar tidak berubah pendiriannya meskipun dibujuk oleh Para Kiai Sepuh wabilkhusus Kiai Maimun Zubair.
Mengaji pada Muktamar ke-33 NU masih berlangsung ketika penghitungan suara hasil voting pemilihan Ketua UmumTanfidzyah berlangsung. Suara tertinggi didapat Kiai Said Aqil yang mendapat kepercayaan dari 287 Mu’tamirin dan Kiai As’ad Ali mendapat 107 suara. Pada aturan yang disepakati, akan ada pemilihan putara ke dua jika ada calon -selain yang mendapat suara tertinggi- yang suaranya mencapai 99 atau lebih. Dari momen ini, kita mengaji kepada Kiai As’ad Ali yang kemudian memilih langsung maju ke panggung dan menyatakan bai’at atau dukungan sepenuhnya terhadap Kiai Said. Selain itu, pada calon-calon lain seperti KH. Sholahudin Wahid dan Ustad Idrus Ramli yang berbesar hati menerima dan mendukung sepenuhnya keputusan sidang pleno. Kiai Hasyim Muzadi yang sebelumnya santer diberitakan layak memangku amanah Rais Am juga menghendaki agar tidak ada Muktamar atau bahkan NU tandingan beliau menegaskan bahwa perkumpulan sejumlah ulama di Pondok Pesantren Tebu Ireng yang oleh banyak pihak dicap sebagai Muktamar Tandingan hanya sebatas forum kritik atau unek-unek demi NU yang lebih baik.
Oleh. Tim Redaksi Website Buntet Pesantren