Mengaji dari Arena Muktamar ke-33 NU (Bagian Awal)
Usai sudah gelaran Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 yang diadakan di tanah kelahiran NU, Jombang. Pulang ke tanah kelahiran, sudah sepatutnya menjadi kebahagiaan tersendiri untuk NU, namun tantangan demi tantangan hadir bertubi-tubi seolah berusaha mengikis kebahagiaan itu. Dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut, ada banyak ilmu dan keteladanan yang sangat disayangkan kalau kita tidak mengaji dari momen Muktamar NU ke-33 ini.
Dimulai dari tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” yang ternyata mendapat “sambutan” begitu hebat dari masyarakat. Banyak yang pro terhadap tema ini namun banyak juga yang merasa “kurang sreg” bahkan beberapa pihak terkesan “melakukan perlawanan berlebihan” terhadap tema ini. Pihak yang setuju menganggap bahwa tema ini sebagai awareness agar kita tidak kehilangan jati diri, pemangku tugas Rais ‘Am –KH. Mushtofa Bisri- menjelaskan secara simpel namun mendalam bahwa Islam Nusantara adalah idhofah bima’na fi, Kiai Maimun Zubair yang dikenal sebagai “Maha Guru” masa kini pun turut mengungkapkan bahwa tema ini memang pas diusung oleh Muktamar NU kali ini. Salah satu penolakan datang dari seorang peneliti LAKPESDAM Jawa Barat dalam tulisannya yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat yang mengungkapkan tanpa dilabeli Islam Nusantara pun “NU sudah representasi paripurna dari Islam Nusantara dalam kultur, jam’iyyah, maupun harokah (gerakan)” (kami mengutip pendapat Kiai Said Aqil Siradj dalam “Menjaga Marwah Ulama”, terbit di Harian Kompas edisi 16 Juni 2015) sehingga menurut Peneliti Lakpesdam tersebut seolah tidak ada yang istimewa dari tema ini. Penolakan-penolakan lain yang lebih keras dan frontal juga bermunculan, kebanyakan berasal dari pihak-pihak di luar NU tanoa menafikan penolakan dari internal NU. Pro -kontra Tema Muktamar tersebut tidak menjadi penghalang bagi belasan ribu orang untuk berdatangan pada hajat lima tahunan ini sehingga menjadi bukti bahwa NU masih solid.
Muktamar Nu ke 33 ini memang istimewa, selain NU yang pulang kampung, juga dalam tausiahnya KH. Maimun Zubair pada acara Kaum Muda NU yang diadakan di Universitas Wahab Hasbullah (UNWAHA) pada momen Muktamar tersebut ndawuh “Muktamar ke 33 adalah muktamar siklus yang berarti putaran sempurna. Bertemunya Matahari dan Rembulan siklusnya adalah 33 tahun. Angka 33 ini adalah angka yang dicontohkan oleh bapak kita semua yaitu Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang memiliki pemikiran bahwa manusia terdiri dari dua yaitu manusia khos dan ‘amm. Manusia khos adalah manusia cendekiawan dan manusia ‘amm adalah manusia biasa. Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa “NU terdiri dari 11 huruf dan 6 suku kata yang dijumlahkan menjadi 17, 8 adalah pintu surga dan 8 adalah (simpul) tali yang terdapat dalam lambing NU yang kokoh yang tidak bisa “disiseti”, jangan diikat (kuat-kuat), longgar-longgar saja (agar) bisa menampung manusia khos dan ‘amm, dan bintang 4 dan 5. NU adalah Indonesia, 17/8/45.”
KH. Said Aqil dalam sambutannya menyampaikan bahwa ada empat semangat yang merupakan warisan Walisongo dan para ulama dan selama ini dipegang NU dalam melestarikan islam Nusantara serta menjadi semangat islam dunia. Semangat tersebut adalah semangat keagamaan/ruuhuddin yang dibarengi akhlak yang dijelaskan beliau dengan menyitir ayat “Innama buistu liutammima makarimal akhlaq”, kemudian semangat nasionalisme/ruuhul wathoniyyah yang dijelaskan dengan menyampaiakn dawuh Kiai Hasyim Asy’ari “Islam menjadi kuat di suatu kawasan karena ada semangat kebangsaan yang menyala di dada dan bangsa ini menjadi kokoh karena diisi dengan nilai-nilai Islam, semangat kebhinekaan/ruuhut ta’aduddiyah yang dipertegas beliau dengan “di atas sajadah nusantara inilah kita belajar memahami firman Allah Walau SyaAllahu laja’alakum ummatawwahidatan” yang bermakna sesungguhnya Allah bisa saja menjadikan manusia ituhanya terdiri dari satu bangsa namun kenyataannya Allah berkehendak adanya keragaman, dan semangat kemanusiaan/ruuhul insaniyah yang akan menciptakan dunia tanpa peperangan bukan hanya menjadi angan-angan belaka.
Oleh. Tim Redaksi Website Buntet Pesantren