Haul Buntet Kabar

4 Topik yang Dibahas dalam Bahtsul Masail Haul Buntet 2024

Media Buntet Pesantren,

 

Pondok Buntet Pesantren menggelar Bahtsul Masail dalam rangka Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren pada Kamis (1/8/2024).

 

Di tahun ini, ada empat topik yang bakal dibahas oleh para kiai dari berbagai pesantren di Indonesia. Empat topik itu akan dibahas di dua tempat, yakni dua soal pertama dibahas di Masjid Agung Pondok Buntet Pesantren, sedangkan dua soal terakhir didiskusikan di Aula Kantor Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren.

 

Pelepasan Alat Bantu Hidup

 

Masalah pelepasan alat bantu hidup merupakan salah satu isu yang paling kompleks dan kontroversial dalam bidang medis, etika, dan agama. Praktik yang sering dikategorikan sebagai bentuk futile care atau perawatan yang sia-sia, memunculkan berbagai dilema moral, hukum, dan emosional bagi keluarga pasien serta tenaga medis. Ketika alat bantu hidup seperti ventilator atau mesin dialisis digunakan untuk mempertahankan kehidupan pasien yang prognosisnya sangat buruk atau tidak ada harapan untuk pulih, keputusan untuk menghentikan penggunaan alat-alat tersebut dapat menjadi sangat sulit. Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai tindakan menghormati martabat pasien dan menghindari penderitaan yang berkepanjangan. Namun, di sisi lain, ini juga dapat dilihat sebagai tindakan yang mempercepat kematian seseorang, yang bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kedokteran dan keyakinan pribadi.

 

Perawatan yang sia-sia atau futile care Secara umum dapat didefinisikan sebagai penggunaan sumber daya medis dalam jumlah signifikan tanpa adanya harapan bahwa pasien bisa kembali ke kondisi independen dan interaktif dengan lingkungan sekitarnya. Ketika kondisi pasien dinilai sudah tidak menerima manfaat dari perawatan medis yang diberikan, dokter dapat mempertimbangkan untuk withholding atau Withdrawing terapi.

 

Withholding berarti bahwa dokter tidak lagi memberikan perawatan atau tindakan lebih (no therapeutic escalation) ketika keadaan pasien memburuk. Contohnya adalah tidak melakukan resusitasi jantung-paru pada pasien yang dinilai sudah tidak bisa menerima manfaat dari tindakan tersebut. Sementara itu, withdrawing berarti bahwa dokter menghentikan terapi yang awalnya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan tetapi akhirnya dinilai sudah menjadi sia-sia dan hanya memperpanjang proses kematian. Contohnya adalah melepaskan ventilasi mekanik.

 

Di Indonesia, penghentian futile care dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. Kriteria futile care ditentukan oleh direktur atau kepala rumah sakit, lalu keputusan dibuat oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter komite etik. Selain itu, dikembalikan lagi pada keluarga sebagai wali dari pasien, apabila keluarga pasien setuju, maka penghetian alat bantu hidup dapat dilakukan.

 

Dalam Permenkes 37/2014, Ayat (3) dijelaskan bahwa keluarga pasien dapat meminta tim dokter yang menangani pasien untuk melakukan penghentian / penundaan terapi bantuan hidup bagi pasien. Namun, permintaan dari keluarga pasien ini hanya dapat dipertimbangkan apabila pasien dalam keadaan tidak memiliki kompetensi dan kapasitas. Dengan kata lain, pasien tidak dapat memutuskan sendiri apakah terapi bantuan hidup akan dihentikan/ditunda atau tidak. Apabila hal ini terjadi, maka harus dicari tahu apakah pasien tersebut telah meninggalkan wasiat pesan atau tidak.

 

Bila pasien sama sekali tidak meninggalkan wasiat, maka keluarga terdekat pasien akan mengambil keputusan medis bagi pasien, namun dengan tetap melihat dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang dimiliki pasien. Apabila pasien ternyata meninggalkan pesan, maka dilihat apa isi dari pesan tersebut. Yang pertama adalah tindakan medis apa yang diinginkan atau ditolak pasien ketika pasien kehilangan kompetensinya. Kedua adalah berisi penunjukan seseorang secara spesifik untuk menjadi pengambil keputusan pengganti.

 

Cukup banyak keluarga menolak keputusan withholding maupun Withdrawing. Salah satu alasannya adalah keluarga mungkin meragukan prognosis yang diberikan tim medis. Beberapa orang berpendapat bahwa keputusan untuk menyatakan suatu perawatan sia-sia tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada tim medis karena ada aspek dalam hidup yang tetap menjadi misteri, bahkan untuk dokter sekali pun. Keluarga pasien juga mungkin merasa bahwa mereka membutuhkan second opinion untuk menentukan apakah perawatan yang diberikan kepada pasien di ICU tersebut memang benar sia-sia atau masih perlu dilanjutkan.

 

Selain itu, beberapa orang juga memiliki alasan religius. Dalam agama, upaya mempertahankan kehidupan dengan cara apa pun dianggap sebagai nilai yang amat penting. Seseorang mungkin percaya bahwa keajaiban bisa terjadi jika Tuhan belum mengijinkan pasien tersebut meninggal.

Keputusan untuk menghentikan alat bantu hidup sering kali mendapatkan kritik tajam. Banyak tradisi religius mengajarkan bahwa kehidupan adalah anugerah ilahi yang harus dijaga dengan segala cara. Misalnya, dalam beberapa interpretasi agama, upaya mempertahankan kehidupan, walaupun tampak sia-sia dari sudut pandang medis, adalah bentuk pengabdian dan kepercayaan bahwa segala sesuatu mungkin terjadi atas kehendak Tuhan. Kritik ini menyoroti ketegangan antara prinsip ilmiah yang didasarkan pada prognosis medis dan keyakinan spiritual yang percaya pada kemungkinan keajaiban. Bagi mereka yang memegang teguh keyakinan ini, keputusan untuk menghentikan perawatan medis yang menopang hidup dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap harapan dan iman.

 

 

Pertanyaan :

a) Bagaimana hukum menghentikan (withdrawing) atau menunda (witholding) penggunaan alat bantu hidup pada pasien yang dalam keadaan koma dan tidak menunjukkan adanya harapan untuk sembuh?

 

b) Dalam situasi di mana pasien meninggalkan wasiat yang menolak menggunakan alat bantu hidup, bagaimana hukum wasiat tersebut? Apakah wasiatnya harus dijalankan?

 

 

Kebocoran Data Nasional

 

Baru-baru ini, Indonesia diguncang oleh insiden kebocoran data di Pusat Data Nasional (PDN). Banyak orang merasa khawatir tentang keamanan data pribadi mereka setelah mendengar berita tersebut. Kebocoran ini menekankan betapa krusialnya menjaga dan melindungi data pribadi agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Pada Kamis, 20 Juni 2024, server Pusat Data Nasional (PDN) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengalami serangan siber ransomware. Serangan ini mengakibatkan gangguan pada layanan publik di berbagai instansi.

 

Sejak 17 Juni 2024 pukul 23.15 WIB, terdeteksi upaya penonaktifan fitur keamanan Windows Defender, yang membuka celah bagi aktivitas berbahaya. Serangan ini melibatkan instalasi file berbahaya, penghapusan file sistem penting, dan penonaktifan layanan yang berjalan. Peretas kemudian menuntut tebusan sebesar 8 juta dolar AS atau sekitar Rp 131 miliar.

 

Ransomware ini tidak hanya mengganggu sejumlah layanan, tetapi juga mengunci dan menyandera data milik 282 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang tersimpan di PDN. Tim dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, dan Telkom telah berupaya keras untuk mengembalikan data tersebut. Namun, upaya mereka tidak berhasil. Pemerintah akhirnya mengakui bahwa data yang terkena ransomware tidak dapat dipulihkan. Menurut Direktur Network dan IT Solution Telkom, Herlan Wijanarko, “Kita berupaya keras melakukan recovery resource yang kita miliki. Yang jelas data yang sudah kena ransomware sudah tidak bisa kita recovery. Jadi sekarang menggunakan sumber daya yang masih kita miliki.”

 

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), PDN adalah fasilitas yang digunakan untuk penempatan sistem elektronik dan komponen terkait lainnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, pengolahan, dan pemulihan data bagi Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah. PDN berfungsi sebagai infrastruktur SPBE nasional, yang digunakan bersama oleh Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah, serta saling terhubung.

 

Tugas PDN meliputi penyimpanan, pengelolaan, keamanan, integrasi, dan aksesibilitas data, serta penyediaan layanan data dan koordinasi antara instansi pemerintah. Data yang disimpan mencakup berbagai sektor, seperti data kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, yang mendukung tata kelola pemerintahan, kebijakan publik, dan pelayanan masyarakat. Pasal 30 dalam regulasi tersebut mewajibkan setiap instansi pusat dan pemerintah daerah menggunakan PDN untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya.

 

Ransomware sendiri adalah jenis malware yang mengenkripsi data korban. Dampak dari serangan ransomware sangat merugikan, baik bagi individu maupun organisasi. Ketika terkena ransomware, korban kehilangan akses ke data penting, yang dapat mengakibatkan gangguan operasional.

 

Serangan ransomware di Pusat Data Nasional menjadi peringatan yang sangat nyata tentang pentingnya keamanan siber di era digital. Kejadian ini menunjukkan betapa rentannya data kita terhadap serangan siber dan betapa pentingnya langkah-langkah perlindungan yang memadai. Dalam menghadapi ancaman yang semakin canggih, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk memperkuat pertahanan siber kita. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa data pribadi dan informasi penting kita aman dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

 

Pertanyaan:

 

a) Apakah menjaga keamanan data bisa dianggap sebagai Upaya hifz al-mal (perlindungan harta) ?

 

b) Dalam perspektif fikih, apakah individu memiliki hak atas informasi mengenai perlindungan dan keamanan data pribadi mereka?

 

 

Kontroversi Hadits Palsu dalam Kitab Kuning

 

Dalam khazanah literatur Islam, terdapat berbagai kitab yang menjadi rujukan dalam kajian keagamaan, terutama di pesantren-pesantren. Namun, tidak semua kitab tersebut memiliki validitas yang sama dalam hal keaslian hadits yang dikutip. Beberapa di antaranya bahkan dianggap menggunakan banyak hadits maudhu (palsu).

 

Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa terdapat beberapa kitab yang keterangannya tidak valid sebab terdapat banyak hadis maudhu yang digunakan. Referensinya adalah sebagai berikut:

 

المسألة الخامسة: ما تقولون في الأحاديث والحكايات المذكورة في بدائع الزهور، ونزهة المجالس، ودرة الناصحين، ودقائق الأخبار، فهل هذه الكتب من الكتب المعتبرة يعتمد ما فيها من الأحاديث والقصص أم لا؟ الجواب: هذه الكتب المذكورة وأمثالها ليست من الكتب المعتبرة لغلبة ذكر الأحاديث الموضوعة، فلا ينبغي للمسلم أن ينقل منها حديثا إلا بعد المراجعة في مظان كتب الصحاح. (إتحاف المحب السائل بأجوبة السبع المسائل صـ : ۱۱ للشيخ أحمد بارزي محمد فتح الله للنبولن في مدورا).

 

Kitab yang disebutkan di antaranya adalah “Durrah an-Nasihin” dan “Daqaiq al-Akhbar”. Kitab-kitab ini sering dikaji dalam pengajian di pondok pesantren. Para kiai dari kalangan NU banyak mengkajinya, terutama saat bulan Ramadhan. Selain itu dalam kitab “Fathul Izar” terdapat beberapa keterangan yang belum jelas kevalidannya. Dalam bab kedua, diuraikan berbagai pantangan dan waktu tertentu dalam hubungan suami istri yang diklaim akan menghasilkan konsekuensi tertentu bagi anak yang dilahirkan. Sebagian contoh klaim tersebut di antaranya adalah:

 

• Hubungan suami istri pada malam Jumat akan membuat anak hafal al-Quran.

 

• Hubungan suami istri pada malam Ahad akan membuat anak menjadi pencuri atau penganiaya.

 

• Hubungan suami istri pada malam Hari Raya akan membuat anak mempunyai enam jari.

 

• Hubungan suami istri sambil bercakap-cakap akan membuat anak bisu.

 

• Hubungan suami istri dalam kegelapan akan membuat anak menjadi penyihir.

 

• Hubungan suami istri dalam terangnya lampu akan membuat anak berwajah tampan atau cantik.

 

• Hubungan suami istri sambil melihat auratnya akan membuat anak buta mata atau hatinya.

 

Keraguan muncul karena klaim-klaim ini tidak didukung oleh dalil yang sahih dari hadits Nabi maupun atsar sahabat. Bahkan belum ditemukan hadits dhaif yang menguatkan klaim tersebut. Ketiadaan landasan yang kuat menimbulkan pertanyaan mengenai sumber riwayat ini. Pengarang hanya merujuk kepada ‘qola ahlul ilm’ tanpa memberikan rincian siapa ahli ilmu yang dimaksud.

 

Pertanyaan:

 

a. Bagaimana hukum menyebarkan keterangan baik dalam bentuk pengajian, konten medsos ataupun ceramah yang diambil dari kitab yang disebutkan dalam deskripsi?

b. Apakah keterangan dalam kitab Fath al-Izar yang disebutkan dalam deskripsi memiliki landasan yang jelas? Jika tidak apakah bisa dijadikan pegangan.

 

Kebijakan Sekolah Dalam Study Tour

 

Study Tour adalah kegiatan di mana sekelompok orang, biasanya siswa atau mahasiswa, melakukan perjalanan untuk mempelajari sesuatu atau memperoleh pengalaman baru di suatu tempat tertentu. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan tahunan oleh sekolah menengah atas atau perguruan tinggi, dipimpin oleh guru atau dosen, dan melibatkan kunjungan ke lokasi-lokasi seperti pabrik, museum, atau tempat bersejarah. Meski kegiatan ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengalaman peserta, namun sering kali menimbulkan permasalahan.

 

Salah satu permasalahan yang muncul adalah kewajiban membayar iuran Study Tour meskipun tidak mengikuti kegiatan tersebut, baik dengan alasan tertentu maupun tidak. Kebijakan dari pihak sekolah sering kali mewajibkan seluruh peserta didik untuk membayar iuran, meskipun mereka tidak ikut serta dalam Study Tour. Selain itu, kegiatan ini juga sempat menuai kontroversi setelah terjadinya insiden kecelakaan yang menimpa salah satu rombongan Study Tour dari Jawa Barat, yang mengakibatkan jatuhnya beberapa korban jiwa.

 

Dalam skema transaksi Study Tour, sekolah biasanya mengumpulkan iuran dari para siswa sebagai biaya untuk mengikuti kegiatan. Dana yang terkumpul kemudian digunakan untuk menyewa bus, membayar tiket masuk ke tempat-tempat yang akan dikunjungi, serta untuk biaya makan dan akomodasi jika diperlukan. Meskipun siswa tidak ikut serta, iuran tetap harus dibayar karena sudah menjadi kebijakan sekolah. Hal ini bisa menimbulkan masalah, terutama jika siswa atau orang tua merasa tidak mendapatkan manfaat yang sepadan dengan iuran yang dibayarkan. Selain itu, tanggung jawab atas keselamatan siswa selama Study Tour menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak sekolah dan penyedia jasa perjalanan untuk menghindari insiden yang tidak diinginkan.

 

Pertanyaan:

 

a) Bagaimana pandangan fiqih mengenai kebijakan sekolah yang mewajibkan seluruh siswa untuk membayar iuran Study Tour meskipun mereka tidak mengikuti kegiatan tersebut?

b) Akad apa yang terjadi dalam Study Tour? Baik siswa yang mengikuti maupun yang tidak mengikuti.