Sesepuh nan Teduh ; Mengenal Sosok KH. Nahduddin Royandi Abbas
Sosoknya penuh kelembutan, sosok tuanya tak berhasil menyembunyikan spirit pendidik khas Kyai dalam menguraikan nasehat dan pesan hikmahnya. “Tawadhu'” itu kesan saya pertama kali berjumpa beliau di kediaman Pak Dubes beberapa waktu yang lalu. Selanjutnya pertemuan kami menjadi lebih intens baik secara langsung maupun via telepon, sepertinya beliau kangen berincang langsung dengan aktivis pesantren berlatar-belakang NU kultural.
Saya memang tak mengenal banyak kalangan NU struktural, bagi saya mereka terlampau melangit, sulit disentuh, atau mungkin saya yang kurang genit menyapa mereka.
KH. Royandi Abbas sudah 56 tahun tinggal di London, persisnya sejak tahun 1959. Di sini, tak banyak yang mengenal siapa sesungguhnya beliau, sebagian besar hanya mengenalnya sebagai pensiunan local staff di KBRI.
Padahal beliau ini murid langsung Ulama Nusantara di Masjidil Haram yang sangat terkenal, Syekh Yasin Alfadani dan Syekh Hamid Albanjari. Sejak usia 18 tahun beliau sudah belajar kepada kedua gurunya tersebut di Kota Mekkah Al-Mukarramah. Saat ini, beliau diamanahkan sebagai pengasuh dan sekaligus tokoh sentral Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, menggantikan Kakak beliau yang wafat, KH. Abdullah Abbas.
Padahal beliau ini murid langsung Ulama Nusantara di Masjidil Haram yang sangat terkenal, Syekh Yasin Alfadani dan Syekh Hamid Albanjari. Sejak usia 18 tahun beliau sudah belajar kepada kedua gurunya tersebut di Kota Mekkah Al-Mukarramah. Saat ini, beliau diamanahkan sebagai pengasuh dan sekaligus tokoh sentral Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, menggantikan Kakak beliau yang wafat, KH. Abdullah Abbas.
Tinggal lama di Britania Raya tak menghentikan laju dakwah Islam yang disenanginya, beliau berinteraksi langsung dengan banyak kalangan di negeri ini termasuk dengan komunitas muslim dari India, Pakistan dan Bangladesh. Tak jarang beliau diundang ceramah atau memberikan motivasi keislaman, terutama yang terkait dengan gagasan Islam dan ekonomi pembangunan, tak kurang Bank Indonesia Pusat sempat beberapa kali memintanya sebagai nara sumber terkait dengan keahliannya di bidang itu.
Ketawadhu’annya benar-benar membumi, tinggal di sebuah apartement sederhana di Vivian Avenue di Kawasan Handon, tak jauh dari tempat saya tinggal di wisma caraka. Suatu pagi saya saya diundangnya untuk menikmati hidangan Nasi Goreng khas Ibu Nyai yang kini masih aktif bekerja di Kedutaan Brunei Darussalam. Kami berbincang banyak hal, hingga salah satu alasan mengapa beliau sangat mengapresiasi dakwah saya di negeri ini.
“Gagasan Islam Nusantara yang digulirkan lewat pendekatan motivasi itu mengena sekali untuk kaum muslimin di London, akar keislaman harus didasarkan kepada keilmuan para ulama yang menyampaikan kita kepada al-quran dan sunnah nabi. Dulu ada muballigh yang seenaknya menghina almarhum Gusdur, disebutnya Gusdur buta dan bila makan tak pakai etika, sisa nasi belepotan kemana-mana, saya tanyakan kepada si muballigh itu, kenalkah dengan menteri yang buta di Inggris di masa pemerintahan Tony Blair, bahkan setelah Blair menang pada periode kedua, sang menteri malah diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri, di negeri yang kata anda kafir ini penghargaan kepada mereka yang disable tak menghina secara fisik, tapi Anda tokoh agama, ceramah kemana-mana, mudah sekali merendahkan ulama sekelas Kyai Abdurrahman Wahid.” Sang muballigh terdiam saja mendengar sanggahan KH. Royandi Abbas, lalu setelah itu ceramahnya tak segarang pertama, karena beliau memantaunya terus.
Beliau memang rendah hati, tapi pada saat menyaksikan ketidakbenaran dalam perilaku seseorang beliau amat keras dalam teguran, karena beliau merasa harus meluruskan kekeliruan orang tersebut.
Saya merasa menemukan ayah kedua setelah ayahanda KH. Muhali yang saat ini masih segar memimpin Yayasan Al-Wathoniyah Al-Hamidiyah di Klender, tegas, keras pada disiplin, tapi tetap memberikan respect pada keilmuan. Tidak seperti banyak tokoh agama sekarang, utamanya yang muda-muda, mudah sekali merendahkan para ulama sepuh yang berbeda pendapat dengan mereka, terutama pada gagasan Islam Nusantara. Berbekal popularitas, sudah berani menyebut ulama Nusantara dangkal.
Saya berkhidmat kepada beliau, sosok tawadhu’ yang menyembunyikan kebesarannya lewat aktivitas dakwah yang tak diketahui banyak orang, benar-benar sebuah ketulusan yang membumi. “Seandainya masih ada yang lain, saya tak mau menduduki posisi kakak saya di pesantren ini,” katanya merendah.
Semoga Allah merahmati, memberkahi dan meninggikan maqam beliau dalam khidmat kepada umat dan kepemimpinan beliau di Pesantren Buntet.
oleh Ustad Enha(Nurul Huda Haem
Santri merangkap anak beliau
Santri merangkap anak beliau
Nb. Ustad Enha adalah da’i sekaligus motivator, beliau juga pengasuh dari Pondok Pesantren Motivasi Indonesia dan Istana Yatim Nurul Mukhlisin Bekasi