Sejarah

Wangi Sang Syahid

KH Abdul Mufti Umar (97) saat ditemui di rumahnya di Astanajapura, Cirebon, (11/07/2017)

Saat pertempuran di Desa Sukamulya, Abdul Mufti bersama dua rekannya berjuang melawan 50-an lebih pasukan Belanda. Enam pasukan Belanda tewas, sementara dari pihak Tanah Air rekan Mufti, Muhit, syahid di tengah hutan itu.
Muhit. Begitu bocah itu dipanggil. Semasa hidupnya, baunya sangat tidak sedap.

“Muhit kang Masya Allah, ambune blenakepor (baunya sangat tidak sedap),” kenang KH Abdul Mufti Umar saat tim Media Buntet Pesantren menemuinya, Selasa (11/7/2017).
Begitu wafat tertembak sebagai syahid, darahnya begitu wangi. Kiai Uti, panggilan akrab KH Abdul Mufti, membungkus sang syahid itu dengan sarungnya. Saat itu, KH Abdullah Abbas, putra ketiga KH Abbas Abdul Jamil bertanya, “Siapa yang menggunakan minyak wangi? Harum sekali.”
Kiai Uti balik bertanya, “Ya terus siapa yang di tengah hutan menggunakan minyak wangi?” Begitu diteliti ternyata wangi darah yang mengalir dari Muhit, bocah yang saat hidupnya dikenal dengan baunya yang sangat tidak sedap.
“Ambune ning lenga wangi bli kira-kira (Bau minyak wangi tidak kira-kira). Ari wis getihe (ternyata darahnya) Si Muhit. Maa Syaa Allah,” ujar veteran berumur 97 tahun itu.