Opini

Idul Adha sebagai Hari Raya Makan Besar

Tahun 2016 menjadi tahun yang mengejutkan bagi sepak bola Inggris. Sebuah klub bernama Leicester City yang dua tahun sebelumnya baru promosi ke Premier League, dan mengakhiri musim pertamanya di posisi 14, keluar sebagai juara. Tentu tidak ada yang mengira sebelumnya. Bahkan salah satu rumah judi di Inggris menempatkan probabilitas juara Leicester musim itu lebih rendah dari dugaan bahwa Elvis Presley masih hidup.

Banyak kisah menarik yang melatarbelakangi juaranya Leicester musim itu. Salah satu yang paling terkenal adalah kebiasaan sang pelatih, Claudio Ranieri yang selalu mengadakan pesta piza untuk timnya, tiap kali mereka mampu mencatatkan clean sheet (tidak kebobolan) dalam suatu laga. Itu ia lakukan sebagai perayaan atas prestasi yang diraih anak asuhnya.

Mengadakan pesta makan untuk merayakan sesuatu bukanlah hal baru. Dalam agama Islam, kita mengenal Iduladha. Hari dimana umat Islam sangat disunahkan untuk berkurban. Pada hari itu juga, biasanya umat Islam akan menghabiskan harinya dengan menyantap daging kurban yang dibagikan oleh mereka yang berkurban.

Idul Adha, yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijah, termasuk salah satu dari empat hari yang haram untuk dipuasai, selain Idul Fitri, Hari Tasyrik, dan Hari Syak. Alasannya, karena Idul Adha merupakan hari makan-makan sehingga apabila seseorang berpuasa, alih-alih merayakannya dengan makan-makan, dia dianggap tiadak mensyukuri rahmat Allah, dan puasanya tidak sah. Bukan hanya itu, ia pun berdosa atas laku puasanya.

Lalu apa yang membuat tanggal 10 Dzulhijah spesial sehingga Allah melabelinya sebagai hari makan-makan dan bahkan haram untuk dipuasai?

Itu semua berkaitan erat dengan firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 3.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukukan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu”

Dikutip dari berbagai riwayat sahih, ayat ini turun pada sore hari Jumat, 9 Dzulhijah 10 H. ketika Nabi Muhammad saw. melaksanakan haji terakhirnya, atau yang dikenal dengan nama Haji Wada’.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan makna “disempurnakannya agama” sebagaimana dalam ayat tersebut. Menurutnya, umat Nabi saw. ke depannya tidak akan lagi membutuhkan agama selain Islam, maupun nabi selain Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan mengutusnya untuk manusia dan jin. Maka, tidak ada sesuatu yang halal kecuali yang dihalalkan oleh Nabi, serta tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang diharamkan oleh Nabi. Semua yang dikabarkan Nabi adalah haq dan benar adanya, tidak ada satu pun kebohongan yang menyertainya.

Berkaitan dengan ayat itu, terdapat sebuah hadis riwayat Imam Bukhori,

وقال الامام أحمد: حدثنا جعفر بن عون, حدثنا أبو العميس عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال: جاء رجل من اليهود الى عمر بن الخطاب, فقال: يا أمير المؤمنين انكم تقرءون اية في كتابكم لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك اليوم عيدا. قال: وأي أية؟ قال قوله “اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي”. فقال عمر: والله اني لأعلم اليوم الذي نزلت فيه على رسول الله والساعة التي نزلت فيها على رسول الله , نزلت عشية عرفة في يوم جمعة

Artinya: Seorang laki-laki Yahudi mendatangi Umar bin Khattab, dan berkata, “Wahai Amirol Mu’minin! Engkau tadi membaca sebuah ayat dari kitab sucimu. Andaikan ayat itu turun kepada kami (kaum Yahudi), niscaya hari itu akan kami jadikan hari raya.” Umar bertanya, “Ayat yang mana?” Kemudian dibacakanlah Surat al-Maidah ayat 3. Umar pun berkata, “Demi Allah! Sungguh aku mengetahui hari dan waktu di mana ayat itu turun kepada Nabi saw. Ayat itu turun pada sore Hari Arafah (9 Zulhijah), di hari Jumat.”

Hari di mana agama ini disempurnakan tentu merupakan hari yang besar dan bersejarah. Tidak heran orang Yahudi itu sampai membayangkan andai hal tersebut terjadi di agamanya, maka hari itu pasti akan menjadi hari raya. Oleh karenanya, Islam menetapkan hari berikutnya, yakni 10 Dzulhijah, sebagai hari raya Idul Adha yang dikenal dengan hari makan-makan.

Maka bisa diketahui, bahwa sudah dari dulu orang merayakan sesuatu dengan makan-makan. Hari dimana Islam disempurnakan, besoknya dirayakan dengan memakan daging kurban. Kebiasaan itu nampaknya berlanjut hingga sekarang.

Jadi, wajar jika Claudio Ranieri merayakan keberhasilan anak asuhnya yang mampu mencatatkan clean sheet dengan mengadakan pesta piza. Apalagi ternyata formula itu bisa membangkitkan semangat mereka hingga akhirnya menjadi juara di akhir musim.

Di beberapa daerah, termasuk di Buntet, Idul Adha disebut ‘Raya Agung’. Sebab, ada dua hari raya dalam agama Islam; Idul Fitri dan Idul Adha. Idulfitri disebut ‘Hari Raya Kecil’, sedangkan Idul Adha disebut ‘Hari Raya Agung’. Sementara Orang Jawa Timur biasa menyebutnya ‘Besar’.

Alasannya, karena memang Islam memandang Idul Adha sebagai hari raya yang punya keutamaan lebih dibanding Idul Fitri. Setidaknya, ada tiga alasan yang membuat Idul Adha dianggap lebih agung dari Idul Fitri.

Pertama, karena di hari itu, jamaah haji dari seluruh dunia sedang berkumpul di padang Arafah untuk melaksanakan prosesi paling utama dalam haji, yakni wukuf. Disyariatkannya kurban menjadi alasan kedua. Dan yang terakhir, kesunahan bertakbir pada saat Idul Adha yang sampai empat hari jauh lebih lama dibanding ketika Idul Fitri yang hanya dari malam hingga pagi lebaran.

Hal ini mungkin kurang begitu terasa di Indonesia yang terbiasa merayakan Idul Fitri jauh lebih meriah ketimbang Idul Adha. Namun ini bisa dibuktikan jika kita melihat perayaan hari raya di Mesir dan Negara Timur Tengah lainnya. yang membedakan Idul Fitri dengan hari-hari lain hanyalah salat id di pagi hari. Setelahnya, kehidupan berjalan seperti biasanya.

Namun ketika Idul Adha, semua orang merayakannya dengan meriah. Pulang ke kampung halaman, mengunjungi sanak saudara, mengadakan pesta makan, dan kegiatan-kegiatan lain yang membuat hari itu terasa begitu spesial dibanding hari-hari biasanya. Sesuai namanya, Raya Agung (Besar), memang sudah sepantasnya Idul Adha dirayakan lebih meriah dari Idul Fitri.

Maka, mari kita rayakan hari ini dengan bergembira, berkumpul dengan keluarga, dan tidak lupa makan-makan. Selamat makan besar di Hari Raya Besar.

 

M Fayad Hazami, Mahasiswa Fakultas Bahasa Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir