Kabar

Tradisi Turki Sambut Ramadhan

Sumber: takvim.com.tr

Sebagaimana Indonesia, Turki pun memiliki tradisi penyambutan Ramadhan. Meskipun demikian, tradisi masyarakat Turki pastinya berbeda dengan warga Indonesia. Lampu pada setiap menara masjid yang biasanya menyala pada Jumat saja, kali itu dinyalakan sepanjang bulan Ramadhan.
Begitulah Mohammad Kamil, warga Buntet Pesantren yang sedang menempuh studi di Sulaimaniyah, Istanbul bagian Eropa, menceritakan pengalamannya berpuasa di negara yang kini dipimpin oleh Recep Tayip Erdogan itu kepada Media Buntet Pesantren pada Sabtu (9/6).
Lebih lanjut, Kamil menjelaskan bahwa tidak hanya nyala lampu menara saja, tetapi masjid pun dihias dengan tulisan “Hoş Geldiniz Ramazan” atau “Oruç Tut Beni“. Di antara keduanya itu membentang di atas kubah masjid di antara dua menara, seperti yang ada pada masjid Aya Sofya dan Sultan Ahmet (Blue Mosque).
Kamil berpuasa selama 18 jam. Sebab, Ramadhan yang saat ini ia tempuh berbarengan dengan musim panas. Hal itu berakibat pada panjangnya waktu siang ketimbang malamnya.
Menurutnya, suasana berbuka di Turki tak seramai dengan yang ia rasakan di Indonesia. Pasalnya, ngabuburit atau orang Buntet biasa menyebutnya ngadang surup (menanti matahari terbenam), tidak menjadi bagian tradisi masyarakat Turki.
Akan tetapi, pintu rumah umumnya terbuka. Artinya, pemilik mempersilakan siapapun untuk berbuka bersama. Hal demikian, katanya, saat ini sudah agak jarang mengingat pengaruh budaya Eropa yang sudah kental.
Perihal berbuka, pria yang pernah ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah itu menjelaskan bahwa ada tiga tahapan berbuka bagi masyarakat Turki. Makan sup çorba dan ekmek menjadi sesi pertama berbuka mereka. Köfte, pide, kebap, dan tavuk iskender menjadi menu tahap kedua. Manisnya baklava, pasta, atau kemal paşa menjadi sajian penutup iftar mereka.
Sementara itu, roti adalah menu sahur mereka. Nasi bagi umumnya masyarakat Turki terlalu berat. Maka, aneh, menurut mereka, jika nasi yang menjadi menu sahur atau sarapan.
Kamil melakukan tarawih 20 rakaat sebagaimana yang ia lakukan di Indonesia. Bedanya, di Turki ia salam setiap kali empat rakaat, sedang di Indonesia dua rakaat sekali ia salam. Menurutnya, masyarakat di sana banyak yang menganut mazhab Hanafi.
Tradisi Lailatul Qadar
Orang Turki menyebut lailatul qadar dengan istilah kadi gecezi. Malam 27 Ramadhan  mereka yakini sebagai malam yang lebih mulia ketimbang seribu bulan itu meskipun mereka mengetahui bahwa jatuhnya malam tersebut merupakan rahasia Allah. Tetapi, tradisi  penyambutan malam ke-27 terus berlangsung sampai sekarang.
Masyarakat Turki pada malam ke-27 Ramadhan, khususnya, dan sepuluh hari terakhir umumnya,  memperbanyak ibadahnya. Shalat tasbih dan tadarus mereka lakukan. Bersalaman dan berpelukan sebagai tanda saling memaafkan juga menjadi bagian tradisi yang tak pernah ketinggalan.
“Setelah selesai shalat tasbih diteruskan saling bersalaman dan berpelukan, saling memaafkan,” kata pria yang pernah mengenyam studi di Pondok Pesantren As-Shighor, Gedongan, Cirebon, Jawa Barat itu.
Sedekah juga mereka laksanakan. Kamil bercerita bahwa dirinya pernah memperoleh 200 lira Turki, setara dengan 600 ribu rupiah lebih. “Biasanya pada ngasih sedekah fitri berupa uang. Saya pernah dikasih 200tl,” kisahnya.
Ia mengakui, bahwa puasa di Indonesia sangat berkesan. Meskipun demikian, puasa di Turki juga memiliki kesan tersendiri di benaknya. Salah satu yang paling berkesan baginya adalah dapat berziarah ke makam para sahabat Nabi. Ramadhan 1439 H mengantarkannya berziarah ke Abu Ayüb al-Ansori,  Abu Darda,  Abu Dzar al-Ghiffari,  Ka’b bin Malik, Abu Syaibat al-Hudri, Hazreti Jabir bin Muhammed al-Ansori, dan ‘Amr bin ‘Aas.
“Ya walaupun tak seberkesan puasa di Indonesia, sangat berkesan wisata rohani pada makam para sahabat pada bulan ini,” pungkas pria yang pernah belajar menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Baitul Abidin Darussalaam, Wonosobo, Jawa Tengah.
(Syakir NF)