Kajian-Kitab

Seputar Zakat Fitrah

Sumber: NU Online
Fitrah berarti asal kejadian (khilqah). Dengan kata lain zakat fitrah berarti zakat badan karena ia membersihkan jiwa dan mengembangkan amalnya. Zakat ini disebut juga dengan “zakat fitri” karena diwajibkan sebab berbuka puasa (fithr).[1]
Zakat fitri merupakan salah satu syari’at yang khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW. Zakat fitri bermanfaat untuk menambal kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam puasa.[2] Adapun syaratnya sebagai berikut.
1. Muslim; zakat fitrah tidak wajib bagi kafir asli.
2. Menemui terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan, dan awal bulan Syawal. Jika ada orang yang meninggal dunia sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib zakat fitrah. Begitu pula jika seorang bayi dilahirkan setelah maghrib malam Idul Fitri, maka ayahnya atau walinya tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuknya.
3. Ada kelebihan makanan pokok pada malam Idul Fitri dan siangnya. Jika ada seseorang yang pada malam Idul Fitri dan siangnya tidak mempunyai kecukupan untuk makan, maka ia tidak wajib zakat fitrah meskipun sehari setelahnya ia berkecukupan.
Selain wajib zakat untuk dirinya, seseorang juga wajib zakat untuk orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya. Seorang suami, misalnya, wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk isterinya. Seorang ayah, wajib mengeluarkan zakat untuk anak-anaknya yang belum baligh.
Zakat fitrah wajib ditunaikan jika sudah masuk malam Idul Fitri. Zakat fitrah boleh ditunaikan di awal bulan Ramadhan. Adapun sunnahnya adalah sebelum shalat ‘id. Makruh menundanya sampai waktu terakhir di hari Idul Fitri. Haram jika sudah melewati hari Idul Fitri.[3]
Kadar yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sho’ makanan pokok. Untuk di Indonesia secara umum adalah beras. 1 sho’ adalah 3,25 liter atau 2,6 kilogram.
Sebagimana ibadah lainnya, dalam berzakat juga harus niat. “Ini zakatku” juga sudah cukup menjadi niat. Namun, alangkah baiknya mengikuti lafal niat zakat fitrah yang biasa berlaku yakni:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرجَ زَكَاةَ الفِطْرِ عَنْ نَفْسِي فَرْضًا للهِ تَعَالى
 Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitri untuk diri saya sendiri sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.”
Seorang wali harus berniat untuk orang yang di bawah perwaliannya dengan lafal عَنْ نَفْسِي di atas diganti dengan عَنْ وَلَدِي jika orang yang di bawah perwaliannya anaknya sendiri.
Zakat fitrah harus diberikan kepada 8 golongan mustahiq sebagaimana zakat mal (harta). Ini menurut Syafi’iyah. Namun ini sulit. Sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa boleh diberikan kepada satu orang fakir atau miskin saja. Untuk zaman sekarang, pendapat ini bisa diikuti. Penerima zakat harus seorang muslim. Zakat fitrah, begitu pula zakat harta, tidak boleh diberikan kepada orang kafir.


[1] Taqiyuddin Abu Bakr Al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 156
[2] Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 532
[3] Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 1, hal. 534