Hikmah Nasehat Kyai Tokoh

Sebingkis Kardus : [KISAH] Keikhlasan Abah Hasan


Oleh M Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
Tahun 2010, ketika salah satu puteranya ingin berangkat kembali ke pesantren, KH M Hasanuddin Kriyani atau yang akrab disapa Abah Hasan seperti biasa memberikan perintah kepada istrinya, NY. Hj. Khunaeniyah Fathoni Amin untuk membuat sejumlah bingkisan sebagai buah tangan untuk KH . M. Baidlowi Mushlih yang mana merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Awarul Huda, Malang, pesantren tempat putranya menuntut Ilmu. Bingkisan tersebut terdiri dari berbagai macam  makanan khas Cirebon, sejumlah sirup, biskuit, dan berbagai macam penganan lainnya yang berjumlah cukup banyak yang kemudian dibingkis dalam sebuah kardus yang cukup besar. Pada saat itu bertepatan dengan waktu ashar Masjid Jami’ Buntet Pesantren Cirebon.

bu iku dede pengen mangkat gagian dibungkusaken olih-olih anggo Kyai Baidlowi**” perintah abah kepada bu nyai
 **Bu,itu dede (panggilan kepada putranya) mau berangkat, cepat dibingkiskan oleh-oleh untuk Kyai Baidlowi’

“enggih bah” jawab ibu nyai, sembari dibantu menyiapkan bingkisan tersebut oleh santri ndalem-nya.

“sebenere, ngangge punapa sih bah olih-olih kuh? Teras katah pindah tekah olih-olihe**” seloroh sang putera kepada abahnya. Mungkin sang putera berpikir bahwa oleh-olehnya terlalu banyak sedangkan dirumah juga membutuhkan makanan-makanan tersebut untuk konsumsi sehari-hari atau untuk dihidangkan jika ada tamu.
**Sebenarnya, untuk apa sih bah oleh-oleh itu? Terus kok banyak sekali oleh-olehnya.

Abah Hasan tidak menjawab pertanyaan itu, hanya senyuman kecil yang terukir di wajahnya yang teduh. Di tengah-tengah proses pembingkisan tersebut, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu disertai dengan salam. Dengan spontan, putera dari Abah Hasan membukakan pintu, dan ternyata yang datang adalah Alm. Buya Ja’far (KH Ja’far Shodiq Aqil Siroj, Pengasuh PP KHAS Kempek Cirebon). Abah Hasan dan Buya Ja’far memang sering bersilaturahim satu sama lain, beliau berdua ibarat dua sisi mata pedang yang menjadi rujukan berbagai macam masalah masyarakat Cirebon pada khususnya, Abah Hasan adalah Rois Syuriah PCNU Kab Cirebon, sedangkan Buya Ja’far adalah Ketua MUI Kab Cirebon, pada saat itu. Dua kiai ini dikenal akrab dan kompak dalam berbagai gerakan pesantren, sosial dan masyarakat di wilayah Cirebon.

“Mang Asan e wonten tah cung**? Iki cung digawa manjing^”  Buya Ja’far memanggil abah dengan panggilan mamang, karena masih terhitung keponakan jauhnya.
**Mang Hasannya ada de? Ini de dibawa masuk.  ^ Buya Ja’far terlihat membawa sebuah oleh-oleh untuk abah hasan yang dikemas dalam sebuah kardus.

“Oh, enggih mangga, wonten”  jawab sang putera sembari mengecup tangan, menerima kardus, dan mempersilahkan Buya Ja’far masuk ke ruang tamu. Pada waktu beliau datang seorang diri, tidak dengan siapa pun.

Kemudian, beliau berdua berbincang dengan akrabnya, sesekali terdengar tawa dari obrolan mereka yang tampak begitu semangat, sedangkan sang putera kembali masuk ke dalam ruang tengah.

Pada saat itu pula, putera Abah Hasan “iseng” membuka buah tangan yang dibawa Buya Ja’far tadi, sejurus kemudian sang putera terkaget! Betapa tidak, kardus yang dibawa Buya Ja’far berisi SAMA PERSIS dengan bingkisan kardus yang akan dibawa dia untuk oleh-oleh kepada Kiai Baidlowi.  Bingkisan yang dibawa oleh Buya Ja’far berupa sejumlah makanan khas, beberapa sirup dan biskuit serta penganan lain dalam jumlah yang sama dengan bingkisan Abah Hasan untuk Kiai yang mendidik anaknya, hanya ada beberapa merk yang berbeda tetapi dengan produk yang sama.  Sungguh kejadian yang menajubkan dan sulit diterima akal pikirnya, tetapi hal ini nyata terjadi didepan matanya.

Setelah Buya Ja’far pulang, sontak sang putera bercerita kepada abah tentang isi kardus tadi; “kok saged nggih bah? Lah kok aneh?? Niki sami persis,**” dengan rasa heran yang tak henti-hentinya, bagaimana mungkin sesuatu yang bahkan belum diberikan kepada orang lain sudah langsung ada gantinya! kontan!
**Kok bisa ya bah? Lah kok aneh? Ini sama persis

Kembali Abah Hasan tidak menjawab langsung pertanyaan puteranya tadi, hanya senyum kecil kembali yang ada, menambah keheranan sang putera.

Dari kisah ini tergambar dengan jelas tentang pelajaran keikhlasan. Secara tidak langsung Abah Hasan telah berpesan “Ikhlas adalah perkara penting, apalagi untuk menghormati guru. Tidak usah takut kekurangan, pasti ada gantinya!” terbukti!


Wallahu ‘Alam