Kyai Buntet peristiwa Sejarah

Pahlawan dari Buntet Pesantren ; Kisah Heroik KH. Abdullah Abbas

Pada akhir tahun 1944, saat Jepang kian tersudut dalam Perang Dunia II, KH. Wahid Hasyim menawarkan “bantuan” kepada Jepang dalam menghadapi Sekutu. Menurut Ayah dari Gus Dur ini, tentara-tentara bahkan laskar-laskar yang sudah dibentuk Jepang di Indonesia masih belum cukup untuk menghadapi Sekutu, mau tidak mau Jepang harus melatih bela diri dan kemampuan berperang “kaum pesantren” yang secara kuantitas begitu potensial. Bujukan KH. Wahid Hasyim yang sebenarnya adalah tipu muslihat agar kaum pesantren punya kemampuan bertempur yang kelak akan dimanfaatkan demi kemerdekaan bangsa ini ternyata diterima oleh Jepang pada awal Desember 1944 dan sebulan kemudian hingga pertengahan Mei 1945 di Cibarusa, Bogor digemblenglah 500 pemuda dari pesantren-pesantren se-Indonesia diantaranya KH. Abdul Halim Majalengka, KH. Munasir Ali Mojokerto, KH. Wahib Wahab Chasbullah Jombang, KH. Hasyim Latif Surabaya, dan dari Cirebon tepatnya Pondok Buntet Pesantren ada nama KH. Abdullah Abbas yang waktu itu usianya belum genap 24 tahun.

Beberapa bulan kemudian ternyata Jepang benar-benar menyerah pada Sekutu dan Bangsa Indonesia “nekat” memproklamasikan kemerdekaannya. Mengapa dibilang nekat? Karena berdirinya Negara Indonesia tidak dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan Negara wabilkhusus Tentara yang akan menjaga kedaulatan Negara. Lalu pemerintah berandangan membentuk tentara, pemerintahan waktu itu memanggil kembali personel-personel PETA yang sudah “bubar jalan” dan karena berbagai persoalan lain, tentara yang terbentuk secara tergesa-gesa itu masih jauh dari asa. Akhirnya kaum pesantren dengan Hizbullah, Fisabilillah, dan kesatuan laskar-laskar lainlah yang menjadi andalan pada masa-masa mempertahankan kemerdekaan. 

Buntet Pesantren yang dibangun oleh Mbah Muqooyim dengan semangat melawan penjajahan tentu menjadi salah satu pesantren yang menjadi basis perjuangan. Tidak hanya para santri yang berjuang habis-habisan tetapi juga para Kiai dengan keluarganya juga turun langsung ke medan perang, bergerilya dari satu belantara ke belantara yang lain. Ada dua sosok Kiai, pasangan Ayah dan Anak yang begitu menonjol perannya dari Buntet Pesantren, Kiai Abbas lewat fisabilillah dan Kiai Abdullah Abbas lewat Hizbullah. Pemisahan Fisabilillah dan Hizbullah lebih kepada umur dan beberapa peran meskipun dalam pelaksanaannya dua laskar ini seolah menyatu dan tidak jelas batasnya.

Di bawah ini akan sedikit disampaikan kisah heroik dari salah satu sosok di atas yaitu KH. Abdullah Abbas berikut refleksi dan harapan serta doa yang dititipkan kepada “Sang Pejuang” yang telah meninggalkan kita 8 tahun lamanya dengan begitu banyak warisan dari mulai ilmu, keteladanan, sampai yang paling penting KEMERDEKAAN. Kisah ini ditulis oleh salah satu putrinya, Teteh Ismatul Maula, S. Psi pada Momen 70 tahun Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Hari ini (17 Agustus 2015) mengingatkanku pada sosok pahlawanku, maha guruku, bapakku, yang telah ikut berjuang merebut kemerdekaan negara tercinta ini dengan laskar Hizbullohnya, masih lekat dalam ingatanku bagaimana beliau bercerita tentang perjuangan melawan Belanda di beberapa daerah, dikepung Belanda di hutan jati hingga selama tiga hari tiga malam tidak tidur dan terus bergerilya di daerah Indramayu, Majalengka sampai Subang. Hidup di belantara hutan membuat KH. Abdullah Abbas dan rekan-rekan perjuangan kesulitan mendapat bahan makanan sehingga mereka makan seadanya, apapun yang ada di hutan sampai-sampai ular, kelinci, dan lain-lain menjadi penyambung hidup.

Bisa dibayangkan, pertempuran yang berlangsung waktu itu begitu berat dan sangat melelahkan serta menyita banyak korban yang hampir semuanya adalah teman, sahabat, dan bahkan saudara-saudara beliau sendiri. Waktu menceritakan bagian ini, mata beliau berkaca-kaca mengenang bagaimana orang-orang terdekatnya gugur sebagai syuhada-syuhada dengan darah yang berbau harum semerbak memenuhi seantero hutan belantara.

Ya Rob perjuangan yang begitu dahsyat tetapi tak pernah ada keluh kesah sedikitpun dari bibir sepuhnya, semuanya dilakukan dengan keikhlasan dan ketawadhuan terhadap para sepuh serta yang paling utama adalah semangat jihad dan “hubbul wathon” yang membuat beliau dan para pejuang serta pahlawan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Duhai pahlawanku…. hari ini cucu panjenengan di perantauan Yogyakarta pun tengah berjuang menaklukkan egonya untuk berdiri tegak ditengah-tengah lapangan upacara menjadi pemimpin upacara, aku membayangkan betapa gagahnya dia berdiri dan dengan suaranya yang lantang dia memimpin upacara detik-detik proklamasi seperti mbahnya ketika memimpin laskar Hizbulloah. Walaupun perjuangannya baru sebatas menaklukkan ego, tetapi aku yakin dia masih menyimpan semangat juang seperti mbahnya, semoga kelak dia bisa meneruskan perjuangan dan bisa segagah serta seberani mbahnya ketika memimpin Hizbulloh.

Wahai Pahlawan dan Guruku…. Maafkan kami bila kami belum mampu mengisi kemerdekaan ini dengan yang terbaik tetapi kami akan terus mencoba melakukan yang terbaik untuk negeri ini, maafkan kami bila saat ini kami baru bisa sebatas simbol menghargai perjuangan kalian, baru belajar berjuang menaklukkan ego kami utk bisa mengerti dan menghargai orang lain, harapan kami adalah bisa berjuang untuk negeri ini walaupun entah kapan kami bisa seperti kalian, perjalanan kami masih panjang untuk menggapai asa itu, kami msh butuh doa dan bimbinganmu untuk bisa “hubbul wathon” yang sesungguhnya.

Sertakan kami dalam setiap doamu wahai pahlawanku agar kami bisa belajar tentang keikhlasanmu, kesabaranmu, ketawaduanmu, kesederhanaanmu, ketenanganmu, dan semua hal yang ada padamu wahai maha guruku, walaupun banyak orang tidak menganggap perjuanganmu dan melecehkanmu tetapu panjenengan tetap pahlawanku, mahaguruku, bapaku, pejuangku yang paling hebat, namamu kan terpatri dalam relung jiwaku yg paling dalam duhai pelipur laraku.

Aku merindumu sangat disaat seperti ini pahlawanku….
Buntet pesantren, 17 Agustus 2015