Santri Legendaris, Mengabdi Sepanjang Hayat
Edi dan Qosim (kiri ke kanan) |
Buntet Pesantren menjadi tempat yang begitu melekat di hati para santrinya. Saking kerasannya, beberapa santri malah ambil bagian menjadi warganya.
Edi, misalnya. Santri putra yang mondok sekitar tahun 1980-an sampai sekarang pasti tak asing dengan sosoknya. Sejak tahun 1982, pria yang akrab disapa Bang Edi itu telah mengabdi dengan bebersih di MTs NU Putri. Itu ia lakukan sampai sekarang.
Bapak enam anak itu pertama kali mondok di Buntet Pesantren tahun 1977. Ia tinggal di kamar masjid bersama beberapa rekannya. Ia pun bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nahdlatul Ulama (NU) Putra 1 saat sekolah itu dipimpin KH Hasanuddin Kriyani dan melanjutkan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren dengan KH Abdullah Abbas sebagai kepala madrasahnya. Tetapi, ia hanya sampai kelas 2 di aliyahnya.
Ia pertama mengaji Al-Qur’an kepada KH Murtadlo Said. Belum khatam, ia menyudahi sendiri ngajinya. Hal itu ia lakukan karena kerap kali salah membaca dan belum siap menerima hukumannya. Lalu, ia mulai mengaji Al-Quran kembali kepada KH Khafash Abdul Karim.
Berbeda dengan Bang Edi yang mengabdi di madrasah, Fathullah Ahmad Qosim ZA memilih mengabdi di pondok. Sejak tahun 1985, ia telah tinggal di kediaman KH Arsyad.
Saat bersekolah, pria asal Gemulung Lebak, Kabupaten Cirebon itu sekelas dengan KH Ade M. Nasihul Umam, KH Tubagus Rifqi Chowas, KH Abdurrahman, KH Ahmad Saefi AZ.
Santri yang akrab disapa Mang Qosim itu mengaji Al-Qur’an kepada KH Faqih Ibrahim. Ia juga mengaji kitab Safinah kepada KH Anwaruddin.
Kini ia masih tinggal di ndalem Kiai Arsyad yang sekarang ditinggali oleh putranya, KH Anis Manshur Arsyad. Saban hari, ia tak membiarkan api dapur mati sebelum makanan para santri siap tersaji.
(Syakir NF)