Pahlawan dari Buntet Pesantren: KH Mustamid Abbas – Menjadikan Politik sebagai Medan Dakwah
KH Mustamid Abbas adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren yang ke-5 (periode 1975–1988) Beliau melanjutkan kepemimpinan pesantren dari KH Muqooyim, KH Muta’ad, KH Abdul Jamil, KH Abbas, dan KH Mustahdi Abbas. Setelah beliau wafat pada 1988, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh KH Abdullah Abbas, lalu kini oleh KH Nahduddin Abbas.
Kiai Mustamid Abbas beserta istri, Nyai Khoiriyah Anas |
Kalau kepemimpinan periode kakaknya, KH Mustahdi Abbas serta ayahnya yaitu KH Abbas serta para kakeknya diwarnai dengan perjuangan dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan, di era Kiai Tamid (sapaan akrab KH Mustamid Abbas) bangsa Indonesia mengalami fase yang tak kalah sulit. Mengutip pendapat Bung Karno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Ya perjuangan bangsa Indonesia termasuk Buntet Pesantren di periode kepemimpinan Kiai yang akrab disapa Kiai Tamid ini tak kalah berat dibanding pendahulunya.
Pada masa itu pemerintah mendengungkan Pancasila sebagai asas tunggal sehingga menimbulkan polemik, Pancasila sebagai dasar negara diragukan keabsahannya oleh sekelompok umat islam Indonesia saat itu. Sebagian kelompok tadi mempertanyakan apakah Pancasila sesuai dengan islam. Di sisi lain, pemerintah saat itu atau yang kerap dikenal dengan Orde Baru seperti yang kita sudah sama ketahui kerap melakukan perlakuan represif terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak sefaham atau menentang pemerintah. Walhasil suara-suara yang meragukan pemerintah kerap langsung “dibungkam”. Yang paling fenomenal diantaranya adalah Peristiwa Tanjung Priuk 1984.
Kiai Tamid bersama beberapa Kiai muda Buntet berfoto dengan tamu |
Di masa-masa seperti itulah, Kiai Tamid yang sudah senja secara usia tengah memimpin Pondok Buntet Pesantren, diamanahi sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Barat, menjadi anggota MPR, Ketua Persatuan Pondok Pesantren Indonesia cabang Cirebon, dan pelbagai amanah strategis lainnya. Posisinya sebagai ulama dalam parlemen membuat beliau secara leluasa dan luwes mampu memainkan peran ganda. Kiprahnya di parlemen tentu tidak akan terlepas dari kajian mendalam dari perspektif agama. Beliau kemudian menjadi salah satu ulama yang mengawali penerimaan Pancasila lewat parlemen. Beliau getol memberi jawaban atas suara-suara penolakan sekelompok masyarakat terhadap Pancasila baik di parlemen maupun saat melakukan silaturrahim ke beberapa pondok pesantren lain.
Puncaknya, beliau malah bertemu dan “merangkul” L.B. Moerdani (Panglima TNI/ABRI saat itu). Konon, semula L.B. Moerdani akan hadir ke Buntet namun berkat kecerdikan Kiai Tamid, pertemuan itu digeser ke Bandung. Secara tidak langsung beliau ingin menyelamatkan pesantren (khususnya buntet) dari perlakuan represif pemerintah lewat ABRInya namun sambil tetap ingin menjaga “kesucian” pesantren. Rangkulan akrab Kiai Tamid dan L.B. Moerdani memang menimbulkan polemik, namun secara tidak langsung bisa diartikan, Kiai Tamid hendak memegang erat L.B. Moerdani agar tidak terus kebablasan terhadap pesantren.
Strategi serupa dilakukan oleh almarhum almaghfurlah Gus Dur yang kemudian mendapat kecaman dari berbagai pihak. Kiai Tamid dan Gus Dur mungkin sadar betul bahwa tindakannya mungkin tidak cukup populer namun itu adalah yang paling realistis dan tepat ketimbang “menceburkan” pesantren untuk “perang terbuka” dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sejarahpun membuktikan strategi yang dijalankan oleh Kiai Tamid dan Gus Dur mengenalkan militer pada Pondok Pesantren itu agar mereka melihat langsung bahwa Pondok Pesantren bukanlah “musuh yang harus dihabisi”. Pesantren dari dulu sampai kapan pun justru akan menjadi penyokong pemerintah.
Strategi tersebut kemudian cukup signifikan mengurangi perlakuan represif militer pada pesantren di periode berikutnya. Di kemudian hari, pada tahun 1987, LB. Moerdani malah memberikan bantuan untuk Buntet Pesantren berupa wadah penampung air yang begitu besar yang terletak di sebelah utara Masjid Agung Buntet Pesantren. Penampung air tersebut bahkan dihubungkan dengan sejumlah pipa yang sampai ke rumah/pondok pesantren beberapa Kiai demi menunjang penyediaan air untuk kebutuhan santri dan kiai.
Sebagai informasi tambahan, Nahdlatul Ulama pada saat itu memusyawarahkan tentang hubungan Islam dan asas negara selama berjam-jam. Satu jam lamanya Kiai Shiddiq terdiam merenungkan masalah ini. Dan ketika mendapatkan hasilnya, langsung Ia memutuskan di depan rapat, dan terdiamlah semua hadirin yang berdebat. NU seperti yang kita ketahui secara bulat menerima pancasila sebagai asas, namun bukan hanya sebagai pertimbangan politis namun melalui kajian syariah yang mendalam, sebuah sikap yang tentu sudah dilakukan oleh Kiai Tamid saat gencar menyuarakan pancasila tidak bertentangan dengan islam baik melalui lobi-lobi parlemen maupun melalui langkah-langlah taktis lainnya.
Oleh Moh. Arief Rizqillah
dengan referensi dari berbagai sumber termasuk “The Islamic Traditions of Cirebon” karya Abdul Ghoffur Muhaimin