Kabar

Wamenag Ajak Mahasiswa STIT Buntet Pahami Kondisi Keberagamaan di Indonesia

Media Buntet Pesantren,

Wakil Menteri Agama (Wamenag) Republik Indonesia KH Zainut Tauhid mengajak mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren Cirebon untuk mengetahui kondisi keberagamaan di Indonesia.

Menurutnya, kondisi tersebut seringkali mengalami kontraksi akibat terjadi berbagai benturan di masyarakat. Sebab terdapat sebagian kelompok yang hendak memaksakan pemahaman keagamaan yang esktrem.

Ia lantas memaparkan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Studi Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2018. Data itu menunjukkan bahwa di 18 kota/kabupaten terdapat ancaman paham radikalisme dan ekstremisme di kalangan muda berusia 15-24 tahun yang sangat mengkhawatirkan.

“Begitu juga tren konservatisme ini dicirikan dengan pemahaman yang skriptual yang juga sangat menguat,” kata Wamenag saat memberikan kuliah umum dalam Dies Natalies STIT Buntet Pesantren Cirebon, di Auditorium MANU Putra Buntet Pesantren Cirebon, pada Sabtu (30/10/2021).

UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga pernah melakukan penelitian di 18 kota/kabupaten tentang literatur keagamaan generasi milenial di Indonesia. Hasilnya, menunjukkan bahwa generasi milenial sangat memiliki semangat untuk mengakses literatur keagamaan.

“Masalahnya, terletak pada konten apa mereka tertarik mempelajri ilmu agama itu? Ternyata yang menarik adalah konten tentang jihad dan khilafah. Itu yang banyak diminati,” terangnya di hadapan sivitas akademika STIT Buntet Pesantren Cirebon.

Ia menyebutkan, dua hasil riset itu sangat tampak sejalan dengan kondisi dunia maya. Di sana terdapat berbagai konten dan pesan dari kalangan radikalis-ekstemis yang semakin beragam, bahkan diikuti oleh banyak followers.

“Kelompok-kelompok milenial itu justru lebih tertarik mempelajari dan memahami agama dari internet dengan konten-konten yang memiliki semangat jihad,” terang Wamenag.

Padahal sebenarnya, jihad tidak masalah. Namun kalau jihad dipahami secara tekstual itulah yang dapat menimbulkan pemahaman keliru. Sebab jihad tidak bisa dimaknai hanya dalam arti yang sempit.

“Jihad dalam arti yang sempit, orang memahaminya dengan al-qital (perang). Padahal jihad bisa dimaknai kita berjuang sungguh-sungguh untuk melepaskan penderitaan dari ketertinggalan, dari kebodohan, dan dari segala macam bentuk kemungkaran,” katanya.

Pada kenyataan itu, perspektif moderasi beragama dalam pemahaman teks-teks agama dan kehidupan sosial bagi mahasiswa sangat penting untuk menjadi katalisator dalam rangka menjaga wajah Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin.

Ia menjelaskan, moderasi beragama itu dilandasi oleh tiga hal. Pertama, kehadiran agama untuk menjaga martabat manusia dengan pesan kasih sayang. Kedua, pemahaman bahwa pemikiran keagamaan bersifat historis, sementara realitas terus bergerak secara dinamis, sehingga kontekstualisasi adalah keniscayaan.

“Tidak justru terjebak pada teks yang melahirkan cara beragama yang eksklusif,” terangnya.

Ketiga, moderasi beragama dilandasi atas dasar tanggung jawab bersama dalam menjaga persatuan republik Indonesia dari pihak-pihak yang dapat merongrong kehormatan bangsa. Dengan demikian, para mahasiswa yang kelak menjadi pemimpin di masa mendatang harus dipandu dengan baik.

“Saya berharap, melalui forum ini akan lahir calon-calon pemimpin mahasiwa yang mampu menjawab tantangan zaman dalam kancah global. Pada saat yang sama, kita membutuhkan figur pemimpin yang komitmen terhadap nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan,” pungkas Wamenag.

(Aru Elgete/Syakir NF)