Kabar

Terkesan Sistem dan Usianya, Mahasiswa UIN Bandung Kunjungi Buntet Pesantren

Enggan jalin kerjasama dengan Belanda, Mbah Muqoyyim, mufti keraton, keluar dari keraton dan mensyiarkan agama Islam lebih luas lagi. Atas permintaan masyarakat, ia mendirikan Pondok Buntet Pesantren pada tahun 1758.

“Pesantren ini berdiri bukan kehendak dari pribadi pendiri, namun permintaan masyarakat,” ujar Ketua Bidang Kepesantrenan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Pondok Buntet Pesantren KH Ade Nasihul Umam kepada 42 mahasiswa Sejarah Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, di kantor YLPI, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (8/5).

Kiai alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu juga menjelaskan bahwa pondok pesantren, mengutip dawuh kiai-kiai sepuh, harus seperti pasar. Artinya, jelasnya, jika ada yang menginginkan ilmu A, maka pesantren mesti menyediakan ilmu tersebut, selayaknya penjual terhadap pelanggannya.

“Kalo kata kiai-kiai sepuh kita dulu, pondok pesantren itu mesti kaya pasar. Di pasar itu orang menawarkan jualan, ada cabe, bawang, beras dll. Pesantren juga menawarkan ilmu. Ada Al-Qur’an, fiqih, tauhid, aqidah, falak, ilmu alat (nahwu shorof) dan pengetahuan umum. Tentunya hal ini untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sekretaris Umum YLPI KH Aris Ni’matullah menjelaskan bahwa Pondok Buntet Pesantren terus berusaha memenuhi kebutuhan zaman. Buntet Pesantren, terangnya, sejak dulu sudah memiliki sekolah semisal Pendidikan Guru Agama (PGA) empat tahun, Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) yang saat ini telah berubah menjadi MAN.

“Itu bukti bahwa buntet berkembang, saat ini kita pnya MI, MTs, MANU, Akper, Lembaga kursus dan STIT,” jelasnya.

Sementara itu, ia juga menguraikan bahwa sebelumnya pondok Buntet hanya terdiri dari satu gedung yang berada di depan gedung YLPI. Menurutnya, saat proses pembangunan, para santri ditempatkan di rumah-rumah kiai. Namun, santri tersebut betah sehingga dibuatlah asrama-asrama berdasar abjad, A, B, C dan lain-lain. Lambat laun, lanjutnya, penamaan berdasar abjad itu berubah menjadi nama, semisa Al-Inaroh, Al-Firdaus, dan sebagainya.

Senada dengan Kiai Ade, Ketua Pelaksana kunjungan Rendi Kurniawan juga mengungkapkan bahwa usia dan sistemnya menjadi dua hal yang menarik baginya untuk datang ke pondok yang terletak di Kecamatan Astanajapura ini.

“Klasik karena tertua dan sistemnya yang menarik, ada yayasan yang menaungi pondok dan sekolah berbeda,” katanya.

Biasanya, lanjutnya, ia melihat pondok pesantren hanya satu naungan. Artinya, lanjutnya, satu yayasan hanya menaungi satu pondok dan satu sekolahan.

Hal lain yang menarik baginya setelah mendengar penjelasan dari dua kiai tersebut adalah lingkungannya yang tidak terbatasi pagar. Ia juga terkesan dengan Pondok Buntet Pesantren yang enggan menolak santri.

Hal itu bertolak belakang dengan pengalamannya dulu. Pesantren tempat ia belajar dulu berbatas pagar dan jika tidak memenuhi standard, tentu akan ditolak.

Ada tiga hal inti yang mesti ia gali, yakni sejarah pesantren, mata rantai keilmuan para kiai Buntet Pesantren, dan sistem pengajarannya.

(Jamaluddin Husein/Syakir NF)