Akhlak Akhlaq Kabar Kyai Buntet Tokoh

Sembilan Teladan KH Ahmad Manshur (Bagian II)


KH Ahmad Manshur, mahasiswa Ilmu Falak UIN Walisongo, dan santri falak Buntet Pesantren di Menara Al-Husna Masjid Agung Jawa Tengah saat prosesi rukyatul hilal awal Ramadan 1432 H

Keempat, jalan-jalan. Seperti yang sudah diceritakan di bagian pertama, saban sebelum dan seusai Subuh beliau berjalan-jalan. Dari rumahnya yang terletak di ujung Barat Pondok Buntet Pesantren itu, beliau berjalan ke Masjid Agung Pondok Buntet Pesantren yang terletak di tengah untuk memimpin jamaah. Setelahnya, beliau berjalan-jalan ke arah timur. Pernah beberapa kali saya lihat beliau sedang menengok kebunnya sembari merapikannya dari rumput-rumput yang sudah mulai liar. Jalan-jalan bagi beliau adalah olah raga.
Kelima, bangun malam. Selain pagi, beliau juga sering jalan-jalan malam. Seringkali saya menangi (baca: melihat) beliau jalan sendirian tengah malam sembar menyilangkan tangannya di belakang punggungnya. Tangan kanannya memutar butir-butir tasbeh.
Keenam, silaturahmi. Setelah jalan bakda Subuh, beliau beranjak kembali ke arah Barat. Sebelum ke rumahnya, saya beberapa kali melihat beliau ngobrol di ndalem KH Rofii Kholil Pengasuh Pondok Nurusshobah. Saat jalan malam pun, beliau juga kerap kali mampir ke beberapa rumah. Saat saya ngaji pada KH Muhadditsir Rifai di ndalem-nya KH Abdullah Syifa Akyas, beliau mampir dan bincang-bincang cukup lama dengan Kang Hadis, panggilan akrab KH Muhadditsir Rifai. Beliau juga tak segan menyapa orang-orang yang ditemuinya.
Ketujuh, mudah memaafkan. Dalam sambutannya saat Isyhad, KH Wawan Arwani menyampaikan bahwa Kiai Mamad sangat mudah memaafkan.
Kedelapan, tawadhu’. Meski beliau dikenal sangat alim, beberapa santrinya kerap kali mendapat pertanyaan-pertanyaan dari beliau.
Kesembilan, humoris. Kerap kali beliau memecahkan suasana kelas yang sedang tegang. Humor yang dilontarkannya atau tindakannya yang tak diduga mengundang tawa santri-santrinya. Seperti saat beliau menerangkan tauhid dalam pelajaran ke-NU-an. Belaiu menjelaskan makna tangan pada ayat yadu llahi fawqa aydihim bukan tangan yang sesungguhnya seperti manusia. Saat itu ada siswa yang melamun. Lalu tetiba beliau mendatanginya dan berkata “Yeee, sira sih dipikiri tangane kepriben.” Sontak siswa lainnya meledakkan tawanya masing-masing hingga riuh.
Habis.
(Syakirnf)