Nasehat Kyai Opini Tausiah Tokoh

Perbedaan Hisab Rukyat di Indonesia “Menganalisis Mengenai Perbadaan Penentuan Awal Bulan Qomariyah”

 Oleh : K.H. Ahmad Manshur
KH. Ahmad Manshur yang duduk di tengah
dengan Baju Koko Hitam
saat Munas Hisab-Rukyat

(Pengasuh Pon-Pes Falak Al-Maufuri, Buntet Pesantren)

A. Perbedaan Penentuan awal Bulan Qomariah
Pada dasarnya persoalan hisab rukyah tidak hanya persoalan penentuan awal bulan qomariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah). Namun karena persoalan penentuan awal Bulan qomariyah ini lebih mempunyai “Greget” – lebih berpotensi menimbulkan perbedaan – maka wajar jika ia lebih mendapatkan perhatian dan lebih dikenal sebagai persoalan hisab rukyah dari pada persoalan lainnya.
Muara perbedaan pemikiran Hisab Rukyah di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan muara perbedaan pemikiran para fuqaha (terdahulu) yakni pada perbedaan pemahaman hadis-hadis hisab rukyah. Hanya saja dalam wacana pemikiran hisab rukyah di Indonesia, ragam pemikirannya lebih majemukj disbanding ragam pemikiran dalam wacana hisab rukyah pada kalangan fuqaha (terdahulu).
Hal ini karena sentuhan Islam sebagai Great tradition dan budaya lokal atau little tradition yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri yang diluar dugaan. Dalam konteks ini disebut sebagai paham keislaman yang bersifat lokal.
B. Madzhab Hisab Rukyah Di Indonesia
Pemikiran-pemikiran Hisab Rukyah Di Indonesia diantaranya :
Madzhab Tradisional Islam Jawa
Pemikiran Hisab Rukyah atau madzhab tradisional ala Islam Jawa ini sering disebut pemikiran “aboge” atau “asapon” yakni cara penentuan awal romadhon, syawal dan dzulhijjah dengan berdasarkan pada perhitungan tahun jawa lama (khuruf Aboge atau Khuruf Asapon)
Dalam pemikiran “aboge” ada beberapa prinsip utama, yakni : pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal pada malam harinya).
Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari falak (versi pemerintah).
Madzhab Rukyah
Dalam wacana pemikiran Hisab Rukyah di Indonesia “Madzhab” ini selalu diidentikan dengan pemikiran Hisab Rukyah NU. Namun pengidentikan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “Madzhab Rukyah” terdapat madzhab-madzhab kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan NU sendiri termasuk salah satu dari Madzhab kecil tersebut.
Dalam Pemahaman Mathla’ ada yang berpendapat bahwa hasil Rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khitbahnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan “rukyatul Internasional yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Internasional, dimana dalam konteks ke – Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir.
Disamping itu, adapula yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang mengisbatkan hasil Rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan “rukyah fi wilayatil hukmi” sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegangi oleh Nahdlatul Ulama secara institusi.
Madzhab Hisab
Di Indonesia sistem Hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab Urfi adalah system hisab penentuan awal bulan qomariyah yang didasarkan pada waktu rata-rata peredaran bulan. Hisab Hakiki adalah system hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.
Hisab Urfi dalam konteks ke – Indonesia – an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “madzhab” tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem aboge dan sistem asapon. Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni system yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qomariyah itu sejak dimulai terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah “ijtima’un Nayyirain Isbatun Bainasy-Syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months. Oleh karena itu ijtima’ itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat dimuka bumi, maka saat ijtima’ dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima’ dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima; bias terjadi pada siang hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari atau malam hari ditempat lain.
Sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal Bulan qomariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal diatas ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’.
Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga, yakni :
Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 900 dari titik zenith. Prinsip utama dalam system ini adalah sudah termasuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah diatas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurukyah. Sehingga system ini ini dikenal dengan hisab wujudul hilal sebagaimana prinsip yang dipegang oleh Muhamadiyah secara institusi. (Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih : Muhamadiyah, Cet. III, hal 291-292.)
Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’I yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refleksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi.
Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam posisi hilal sudah wujud diatas ufuk hakiki atau mar’I, maka awal bulan Qomariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.
C. Menyamakan Persepsi Penentuan Awal Romadhon
Menyikapi masalah perbedaan mengenai penetapan awal bulan Qomariyah, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama berusaha untuk menengahi dengan menjadi hakim terhadap keputusan-keputusan dari berbagai pihak Ormas – Ormas Islam dan lembaga/instansi terkait. Untuk untuk mengantisipasi mengenai perbedaan penentuan awal bulan qomariyah, pemerintah sebagai Agent of Control memberikan suatu jaminan mengenai kisruh perbedaan tersebut, diantaranya :
Merevitalisasi badan yang selama ini menangani hisab dan rukyat (BHR) agar lebih legitimated sehingga keputusannya mempunyai daya ikat kepada ormas yang diwakilinya.
Melakukan tindak lanjut kajian secara intensif untuk melakukan upaya pendekatan di wilayah pandangan dan metode sehingga tercapai satu kriteria bersama dengan melibatkan pakar dan fuqoha.
Melakukan penelitian observasi hilal secara kontinyu untuk kepentingan kriteria penetapan awal bulan qomariyah.
Mengadakan musyawarah bersama secara intensif untuk menetapkan Takwim secara musyawarah mufakat.
Selama kesatuan takwim itu belum tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan umat dengan mengedepankan toleransi.