Ngaji Kitab Mi’raj ad-Dardiri, Santri Buntet Pelajari Detail Isra’ Mi’raj Nabi
Media Buntet Pesantren,
Saban tahun, santri Pondok Buntet Pesantren memperingati Isra Mi’raj dengan mengaji kitab Qisshatul Mi’raj karya ad-Dardiri. Di tahun 1445 H, para santri Buntet Pesantren mulai Senin (5/2/2024) sampai Rabu (7/2/2024) malam di Masjid Agung Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat.
Ketua Dewan Khidmat Masjid (DKM) KH Ade Nasihul Umam menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan upaya pembekalan para santri untuk mendalami secara rinci perjalanan spiritual penuh hikmah Rasulullah saw.
“Dirasa perlu para santri mengetahui sejarah Isra’ Mi’raj dari sumber aslinya,” katanya kepada NU Online pada Rabu (7/2/2024).
Kiai Ade menjelaskan bahwa kitab karya ad-Dardiri dipilih karena kitab tersebut dilandasi oleh hadits panjang Rasulullah saw. Hal itu diperkaya dengan penjelasan syarah dari ad-Dardiri dengan mengutip penjelasan dari para sahabat dan ulama.
“Karena keotentikan kitab Qisshatul Mi’raj yang bersumber dari hadits panjangnya Kanjeng Nabi, diramu dengan syarah,” ujar kiai alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Di samping itu, lanjut Kiai Ade, kitab tersebut juga sanadnya muttashil dari para kiai Buntet melalui para ulama hingga ke Syekh ad-Dardirinya. “Sanadnya muttashil dari kiai-kiai sebelumnya,” katanya.
Pengajian kitab Qisshatul Mi’raj ini memang sudah menjadi tradisi zaman dahulu yang masih terus dilestarikan sampai saat ini. Hanya saja, ada perubahan pola pengajian. Dulu, pengajian dikebut dalam waktu satu malam, mulai pukul 20.00 malam hingga jam 3.00 dini hari. Sementara dalam beberapa tahun terakhir, dibuat menjadi tiga malam.
Selain itu, pada mulanya, pengajian juga dipisah antara santri laki-laki dan santri perempuan. Santri laki-laki bertempat di Masjid Agung Buntet Pesantren, sedangkan santri perempuan di langgar (mushalla) Kiai Abbas. Kemudian, karena tidak muat, santri putri digeser ke halaman rumah Kiai Abbas.
Lalu, sempat juga para santri putri di halaman Masjid Agung Buntet Pesantren. Namun saat ini, santri putri mengaji di pondok masing-masing dengan mendengar siaran langsung pengajian di masjid atau mengaji secara langsung dengan para kiai muda di pondoknya.
“Beberapa tahun belakangan tidak kondusif lagi karena cuaca dan tempat. Supaya ngaji dengan tenang dan serius, para santri dibacakan pengasuh di asrama,” katanya.
Sementara itu, H MNA Syamil Mumtaz, salah satu pembaca kitab di Masjid Agung Buntet Pesantren, merasa memang beda mengajar di pondok dan di masjid. Pasalnya, bacaan tersebut didengar seluruh kiai se-Buntet Pesantren. Tak ayal, ia pernah juga dipanggil salah seorang kiai untuk mempertanggungjawabkan bacaannya.
“Saya dipanggil dimintai pertanggungjawaban. Saya jelaskan bahwa ada dua wajah. Saya dinasihati untuk membaca yang ashahh saja. Untuk pelajaran saya, walaupun ada beberapa wajah, saya baca yang umumnya saja,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyampaikan bahwa persiapannya sangat matang, membaca berulang dengan mengharakati dan memaknainya, khususnya di bagian yang hendak ia baca.
“Saya baca, saya maknain, saya harakatin. Itu pun masih ada potensi sabqullisan (kesalahan lisan), sekali saya sadar, saya ulangi lagi kalimat tersebut. Ternyata benar, tadi ada yang salah baca,” pungkasnya.