Kyai Buntet

Kiai Fuad di Mata Pak Fuad


Prof. Dr. K.H. Fuad Hasyim

Geger ’65 masih membekas. Masyarakat saat itu haus spiritualitas. Setidaknya, begitulah yang dirasakan saat tahun 1970-an. Tak aneh jika hampir seribuan orang berkumpul di alun-alun Cilamaya guna mengikuti seremonial maulid Nabi ataupun isra miraj.
Bocah yang masih duduk di kelas satu Pendidikan Guru Agama (PGA, sekarang MTs) itu berdiri di bagian belakang. Bagian depan hanya bagi yang sudah merasa tua.
Corong pengeras suara tersebar di segala sudut. Meski di belakang, suara dari atas panggung tak terdengar kurang.
Malam bergeser semakin larut. Ia lalu menuju pagi. Sambutan-sambutan telah usai. Pun dengan bebacaan, semua telah selesai. Saat itulah yang dinanti-nanti bocah itu.
Lelaki muda, gagah dan kasep berdiri di atas panggung menghadap ratusan jamaah. Ya, bocah itu menantikan singa podium dari Buntet Pesantren, KH Fuad Hasyim.
Bocah yang mulai gemar dengan dunia ilmiah itu sangat tertarik dengan ulasan kiai muda yang tiap tahun selalu mengisi ceramah di desanya. Itulah yang selalu diingat dan terngiang oleh bocah itu sampai sekarang sudah mendekati kepala enam. Menurutnya, kiai yang mendapat gelar doktor kehormatan dari salah satu universitas di luar negeri itu berbeda dengan kiai lainnya. Dalam menjelaskan isra miraj, Kiai Fuad menjelaskan dunia antariksa secara ilmiah dengan bahasa yang rasional sehingga mudah dipahami oleh bocah itu.
“Dia berceritanya dari ilmu antariksa. Dengan ilmu antariksanya itu membuat menarik selain gaya retorikanya juga,” kenang Fuad Fakhruddin terhadap sosok KH Fuad Hasyim saat ditemui kemarin, Selasa, (29/11).
Lelaki yang kini mengajar di program magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menceritakan kelebihan Kiai Fuad Hasyim, yakni mengintegrasikan sains dengan agama.
“Dia mencoba mengintegrasikan sains,” ungkapnya.
Retorikanya yang luar biasa juga menjadi keunggulannya. Integrasi sains dan agama sehingga materi itu terkesan rasional membuat masyarakat terpukau dan pemahaman pun mendarat dengan baik di benak hadirin.
Meski telah berkelana menggali ilmu di Filipina dan Amerika, pesan kiai yang sampai akhir hayatnya membaktikan diri sebagai Rais Syuriah PBNU itu masih tertanam kuat dalam benak Fuad Fakhruddin. Isra miraj itu perjalanan Nabi ke baitul maqdis. Kita juga harus melakukan perjalanan. Perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan menuju perubahan.
“Umat ya harus melakukan perjalanan. Dalam artian, (umat) harus melakukan perubahan,” ujar Pak Fuad mengutip dawuhnya Kiai Fuad.
Dua sampai tiga jam pun tak terasa. Tetiba sudah pukul dua saja. Penampilannya menyihir jamaah yang hadir. Dengan begitu, beliau sering diundang untuk mengisi pengajian di sana. Fuad hampir tak pernah alpa menyimak Kiai Fuad saat ceramah di desanya.
(Syakir NF)