Khas Buntet

Gara-gara Keris

Dalam dunia pesantren, ta’dzim, takrim, dan manut/nurut kepada Kyai adalah sebuah hal lazim yang bahkan menjadi tolak ukur sebuah kesopanan pada guru/seseorang yang dikaruniai oleh Allah ilmu yang luas dan dalam. Bahkan sesekali hal itu juga harus diterapkan Kyai meskipun kepada Kyai yang lebih “muda” baik secara nasab maupun usia. Hal ini pun begitu lumrah terjadi di salah satu pesantren tertua di Jawa, Pondok Buntet Pesantren.
Suatu waktu Kyai Aris Ni’matullah (Kang Imat) dan Alm. Kyai Abu Busyrol Karim berkesempatan mengunjungi Negara tetangga, Singapura. Disana mereka menyelesaikan beberapa bisnis (bahasa keren dari keperluan) termasuk “mampir” ke beberapa sahabat karib. Sesampainya di sahabat yang terakhir, Kyai Abu menerima hadiah sejumlah keris dan benda pusaka dari sahabatnya.
Sepulang dari rumah sahabat yang terakhir dikunjungi, Kang Imat menyarankan Kyai Abu untuk membuang saja benda-benda pusaka pemberian sahabatnya, “Mang, keris-keris mengkonon sih akeh ning Kanoman gan, wis bae buang” (Paman, keris-keris seperti itu sih banyak di sekitar Keraton Kanoman juga, sudahlah buang saja). Maksud Kang Imat jelas, agar benda-benda tersebut tidak membawa masalah kelak.
Dari ekspresi tubuh dan mimik mukanya, Kyai Abu tampak mengiyakan saran dari keponakannya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju bandara untuk segera Check In, Boarding, kemudian Take Off menuju Tanah Air.
Setelah melewati petugas yang memeriksa karcis (bahasa kerennya Tiket), tibalah ke dua Kyai tersebut di pengecekan barang-barang. Kang Imat yang lebih berpengalaman dalam hal ke”bandara”an dipersilakan Kyai Abu untuk berada di depannya. Kang Imat yang sudah berpengalaman dalam hal demikian dengan santainya mampu melewati pengecekan tersebut tanpa masalah apapun.
Tiba giliran Kyai Abu, saat tas beliau melewati mesin yang disinari dengan sinar X, mendadak alarm detektor logam berbunyi, petugas pun dengan sigap langsung menggeledah tas tersebut. Lalu bagaimana dengan Kyai Abu? Beliau teramat panik dan begitu “tulung-tulungan” kepada keponakannya.
Kang Imat pun tak kalah paniknya, Beliau langsung mendekat kepada Kyai Abu dan petugas lalu mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. “What happen Mr.?” Tanya Beliau kepada petugas bandara.
Petugas menggeleng-gelengkan kepala sambil menunjukkan beberapa keris  yang didapat dari tas Kyai Abu. “What are these?”, (dalam bahasa Buntet, “ Apa kah kie?”) dengan nada sedikit keras, sang petugas bertanya kepada Kang Imat.
Saat itu, mungkin Kang Imat adalah orang yang bingung untuk medahulukan mana antara kesal, lucu, dan berpikir mencari solusi . Selang beberapa saat, Kang Imat kemudian berkata “Those are magic”.
Kiai Aris Ni’matullah Izz
Sebelum petugas menimpali jawaban Kang Imat, Kang Imat sudah kembali berkata dengan muka meyakinkan dan meden-medeni  “Hati-hati dengan benda-benda tersebut, sesuatu yang buruk akan terjadi jika benda tersebut jatuh ke sembarang orang!” (kira-kira terjemahan Bahasa Indonesianya seperti ini).
Lalu muka petugas menjadi benar-benar ketakutan, dan dengan pasrah mengembalikan keris-keris tersebut kepada Kyai Abu, tidak ketinggalan petugas tersebut berpesan kepada ke dua Kyai tersebut agar menjaga baik-baik benda-benda tersebut selama di pesawat, beliau benar-benar mempercayakan pengawasan benda-benda “klenik” itu kepada ke dua Kyai tersebut.