Banyak Potensi Riset terhadap Manuskrip Al-Qur’an di Buntet Pesantren
Media Buntet Pesantren,
Pondok Buntet Pesantren menyimpan belasan manuskrip Al-Qur’an. Namun, hal tersebut belum tersentuh sebagai korpus riset akademik. Karenanya, penelitian mengenai manuskrip tersebut perlu didorong agar tidak hanya berhenti sebagai arsip, tapi juga bisa dipelajari dan dikaji oleh khalayak secara lebih luas.
Perbincangan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk “Manuskrip Al-Qur’an Buntet Pesantren dan Potensi Risetnya” yang digelar Qur’an Center Buntet Pesantren di Perpustakaan Mbah Din Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Ahad (25/5/2025).
Akademisi Universitas Zu Koln Jerman M Nida Fadlan mendorong riset pesantren tidak hanya pada kiprah tokoh, tetapi juga perlu penelitian pada aspek lainnya, seperti manuskrip. Pasalnya, hal tersebut menjadi jembatan yang menghubungkan beragam aspek, mulai dari silsilah sanad keilmuan dan hubungan antartokoh, perekonomian, keterampilan seni, hingga kekayaan intelektual pesantren. Hal tersebut menjadi potensi riset yang cukup penting untuk ditelisik lebih jauh karena bakal mengungkap banyak hal.
Ia mencontohkan tulisan huruf sin pada kalimat bismi yang ditulis memanjang dengan warna hitam dan merah bergantian seperti rel. “Perlu dicari tahu,” katanya.
Pertanyaan yang muncul dari tulisan tersebut berkait motif pewarnaan huruf pada kalimat tersebut, bagaimana warna merah itu dibuat di masa lampau, dan lainnya.
Pun terkait iluminasi. Ada beberapa halaman manuskrip Al-Qur’an yang dihiasi iluminasi dengan motif yang beragam. Ada ilmunasi dengan batik yang, menurutnya, bisa menjadi motif untuk batik madrasah. Belum lagi alasan di balik pembuatan iluminasi pada ayat tertentu. “Hiasan untuk honorifikasi, penghormatan,” katanya menyebut alasan pembuatan iluminasi.
Namun, hal tersebut perlu ditelisik lebih jauh dengan hubungan iluminasi dengan ayat yang dibingkai dengan hiasan tersebut.
Belum lagi soal penjilidan dan kondisi naskahnya yang memiliki sejarahnya tersendiri. Hal itu dapat ditelusuri lebih jauh, mulai soal harga kertas Eropa dan pemerolehannya, atau pembuatan kertas daluangnya, hingga tinta yang digunakan dalam naskah tersebut.
Tidak hanya itu, huruf ain yang berada di pinggir halaman itu juga menjadi satu hal menarik untuk diteliti. Barangkali bagi santri, hal tersebut merupakan hal biasa dan tidak ada kepentingan atau daya tarik untuk diriset. Namun, dalam dunia akademik, penanda itu penting sebagai sebuah objek riset.
Pun dengan interpolasi, penyisipan kata atau kalimat juga menjadi hal yang bisa diriset lebih jauh. Sebab, hal tersebut barangkali bukan sekadar kesalahan penulisan, tetapi juga ada hal lain yang melatarinya. Ia mencontohkan, ada sisipan kalimat ayat al-laili wa ja’ala pada Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 12. Kalimat tersebut terlewat dari tulisan karena termaktub dalam kotak langsung famahawna an-nahar.
Mengenai penulisan itu, Agung Firmansyah juga menyampaikan bahwa manuskrip Al-Qur’an Buntet Pesantren menunjukkan riwayat yang dibacanya, yaitu Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim. Sebab, pada surat Al-Baqarah ayat 259, misalnya, akademisi yang bakal menempuh studi di Universitas Tomsk Rusia itu melihat kalimat ‘nunsyizuha’ dengan huruf za bertitik, bukan ra. Jika ra, nunsyiruha, berarti riwayat yang dibaca bukan Hafsh melainkan Warsy.
Menanggapi hal tersebut, Pembina Qur’an Center KH Muhadditsir Rifa’i juga menyampaikan perlunya riset mengenai teks yang terdapat manuskrip-manuskrip Al-Qur’an tersebut. Pasalnya, Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon itu melihat beberapa teks tidak memiliki kesamaan dengan rasm Utsmani yang menjadi patokan utama dalam penulisan Al-Qur’an. Pun ketiadaan tanda waqaf juga menarik satu perhatian penelitian tersendiri dalam manuskrip=manuskrip ini.