Al-Qur’an sebagai Perekat Kiai Syifa dan Kiai Syahid
KH Muhadditsir Rifa’i (keempat dari kanan) dan KH Cecep Abdullah Syahid (kelima dari kanan) bersama para qari |
KH Q Ahmad Syahid Cicalengka, Bandung dan KH Abdullah Syifa Akyas Buntet Pesantren, Cirebon memiliki kedekatan yang begitu erat. Sejak tahun 1985, Al-Qur’an merekatkan keduanya. Hal ini dilanjutkan oleh putranya masing-masing.
“Keterikatan Kiai Syifa dan Kiai Syahid sejak tahun ’85 sampai sekarang karena Al-Qur’an,” ujar KH Cecep Abdullah Syahid, putra Kiai Syahid usai tampil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an pada peringatan Nuzulul Qur’an di Pondok Pesantren Al-Inayah, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (2/6) dini hari.
KH Q Ahmad Syahid, Sumber: NU Online |
Hal itu dikonfirmasi oleh putra Kiai Syifa, KH Muhadditsir Rifa’i. Ia menyampaikan keakraban dua kiai tersebut terjalin sejak lama. Undangannya kepada keluarga Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah, Cicalengka, Bandung itu bukan saja karena ia merupakan alumni. Lebih dari itu, kedekatan orang tuanya dengan pendiri pondok tersebut perlu diteruskan.
“Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah di samping saya juga alumni, kita juga meneruskan tradisi hubungan orang tua,” kata Kang Hadis, sapaan akrabnya, saat ditanya perihal undangan tetap haflah yang telah digelar untuk keempat kalinya itu.
Lebih lanjut, kandidat doktor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta itu juga menyatakan bahwa kedekatan keluarganya dengan keluarga Cicalengka itu direkatkan dengan Al-Qur’an, bukan sekadar kedekatan fisik saja.
“Kita sepakat bahwa kedekatan kita bukan hanya sekadar fisik tapi direkatkan oleh Al-Qur’an,” ujarnya.
KH Abdullah Syifa Akyas |
Jauh sebelumnya, Kang Hadis pernah bercerita bahwa pernah suatu ketika Kiai Syahid ditegur oleh kakeknya, yakni KH Akyas Abdul Jamil. Peristiwa tersebut sangat dikenang oleh Ayah Syahid, panggilan para santrinya.
Hal itu membuat Kang Hadis harus duduk di hadapannya setiap kali mengaji. Sebab, Kiai Syahid sangat berterima kasih kepada Kiai Akyas sehingga ia merasa terawasi dan berharap mendapat teguran jika ia kembali salah sebagaimana yang ia terima dari kakeknya.
(Syakir NF)