Sebab Oncom Burak, Ramadhan di Indonesia Lebih Indah Ketimbang di Maroko
Mba Salsabila Wilhelmina saat menerima penghargaan mumtaz (2017) |
Maroko menjadi salah satu negara destinasi pelajar, khususnya santri, Indonesa untuk melanjutkan studi atau ngajinya. Salah satu di antaranya adalah warga Buntet Pesantren Salsabila Wilhelmina Arwani Amin. Ditanya puasa di sana, ia menegaskan lebih indah puasa di Indonesia.
Pasalnya, di Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, ada oncom burak (tempe hancur) yang sangat masyhur di kalangan penduduknya. Meski fermentasinya belum sempurna, tempe itu sudah bisa dinikmati dengan digoreng.
“Apalagi di buntet, ada oncom burak,” katanya kepada Media Buntet Pesantren, Sabtu (19/5).
Sementara di Maroko ia tidak bisa menikmati makanan yang ia rindukan rasanya itu. Jangankan oncom burak, tempe biasa saja butuh waktu tiga hari setelah pemesanan untuk mendapatkannya. Itu pun harus ke Rabat, sedangkan ia tinggal di Tangier yang berjarak 250 km dari ibukota Maroko itu.
“Mungkin kalau tinggal di rabat ada tempe. Itupun harus pesen tiga hari sebelumnya. Karena yang bikin mahasiswi Indonesia. Dan prosesnya kan lama,” ujar Mba Salsa, sapaan akrabnya di Buntet Pesantren.
Kenikmatan Berpuasa di Maroko
Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa Ramadhan di Maroko begitu indah. Indikasinya karena puasanya yang panjang dan suhunya yang tinggi membuat buka terasa begitu nikmat. Pukul 03.27 pagi, Subuh telah mampir, sedangkan terbenamnya mentari pukul 19.30. Mba Salsa menghabiskan waktu sekitar 16 jam lamanya untuk berpuasa.
“Puasa di sini Indah, apalagi pas musim panas, lama. Jadi pas buka kerasa banget nikmatnya,” kata pelajar Muassasah Imam Nafie Khos li al-Ta’lim ‘Atiq, Tangier, Maroko, itu.
Mba Salsa menceritakan bahwa orang Maroko lebih gemar berbuka puasa di rumah. Amat jarang, katanya, orang yang berbuka di luar rumah. Menjelang maghrib saja, lanjutnya, jalanan sudah sepi. Warung pun sudah tutup. Hal tersebut justru bertolak belakang dengan di Indonesia.
“Beda dengan orang Indonesia yang hari pertama aja udah jadwalin bukber,” katanya.
Adapun menu khas Maroko yang paling utama adalah Harirah (sup dari sayuran yang sudah dihancurkan). Selain itu, ada sfoufa (kacang-kacang yang digiling halus dan berasa manis), chabakia (pangsit tapi berasa manis), buah tin, dan buah kurma. Pastel, Breouach, dan kue kecil lainnya juga tak ketinggalan. Di samping itu, jus dan susu terhidang sebagai pelepas dahaga.
Kenikmatan Tarawih di Maroko
Perempuan yang pernah mondok di Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu juga mengisahkan kenikmatan Ramadhan lainnya di Maroko, yakni saat tarawih. Masyarakat Maroko melaksanakan tarawih delapan rakaat. Walaupun begitu, shalat mereka cukup panjang. Mba Salsa menjelaskan tiga alasan shalat tarawih di sana bisa lama.
Pertama, imam tidak membaca secara cepat atau terburu-buru, santai. Kedua, setengah juz Al-Qur’an menjadi batas minimum surat yang dibaca sepanjang tarawih. Ketiga, Imam Warsy menjadi riwayat Al-Qur’an yang dibaca oleh imam tarawih, bukan riwayat Imam Hafsh seperti di Indonesia.
Hukum tajwid pada riwayat Imam Warsy banyak yang dibaca panjang. Mad jaiz munfashil, pertemuan huruf mad dengan hamzah yang berbeda kalimat, menurut riwayat Imam Warsy harus dibaca panjang enam harakat. Tidak seperti Imam Hafsh yang membolehkan membacanya sepanjang dua harakat, laiknya mad ashli. Jika bertemu dengan hamzah, mim jamak seperti pada lafal kum dan hum nasibnya sama harus dibaca panjang seperti di atas. Oleh karenanya, shalat tarawih di Maroko cukup lama bukan suatu keanehan.
Mba Salsa juga menerangkan bahwa basmalah tidak termasuk Surat Al-Fatihah menurut riwayat Imam Warsy. Imam masjid mengawali shalatnya dengan melafalkan hamdalah, bukan basmalah.
“Nah kalau di Maroko kan Warsy. Jadi untuk orang Indonesia, tarawih itu pengalaman baru,” ujar peraih predikat mumtaz pada ujian Al-Qur’an itu.
Warga Maroko memisahkan witir dari tarawih. Mereka akan melaksanakannya sebelum sahur, kata Mba Salsa. Setelah tarawih, lanjutnya, mereka melanjutkan makan. “Habis tarawih makan lagi. Makan inti. Kemudian witir sebelum sahur,” jelasnya.
Yang unik, cerita Mba Salsa, orang Maroko percaya tanggal 27 Ramadhan itulah malam lailatul qadar. Bisa dibayangkan, orang akan berduyun-duyun ke masjid pada malam tersebut. Lebih lanjut, ia bercerita bahwa imam masjid akan menghabiskan waktu satu jam hanya untuk membaca doa qunutnya.
“Dan doanya, setelah qunut lama (baca silabe ma-nya panjang) banget. Bener-bener sejam,” kisahnya.
Hal itu, menurutnya, bagi orang Indonesia malah membuat ambyar, bukan lagi syahdu. “Udah lama, gakpaham kan doanya apa, karena bahasa Arab,” tuturnya sembari tertawa.
(Syakir NF)