Raya Kupat : Wajah Islam Nusantara ala Buntet Pesantren
Oleh : M Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
Jangan harap menemukan ketupat pada hari raya idul fitri di Buntet Pesantren Cirebon, sebab makanan khas nusantara yang dijadikan simbol lebaran di Indonesia ini hanya akan dinikmati pada tanggal 8 syawwal atau tujuh hari setelah kita melaksanakan sholat ‘id. Hal ini sudah mentradisi sejak Buntet Pesantren berdiri pada pertengahan abad tujuh belas. Jika disinergikan dengan sejarah yang lebih jauh, salah satu teks sejarah menyebutkan bahwa tradisi ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai perayaan setelah melaksanakan puasa sunah syawwal.
Puasa syawwal adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam syari’at islam, sebagai mana hadits Nabi SAW :
من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال كان كصيام الدهر” رواه مسلم
“Barangsiapa yang telah melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan berpuasa selama 6 (enam) hari pada bulan Syawwal, maka dia (mendapatkan pahala) sebagaimana orang yang berpuasa selama satu tahun” HR Muslim
Bersandar pada hadits dan pahala yang begitu agung, sebagian besar dzurriyyah dan masyarakat Buntet Pesantren yang tidak memiliki ‘udzur setiap tahunnya istiqomah untuk melaksanakan puasa syawwal ini setelah hari raya idul fitri. Untuk menghormati orang-orang yang memilih berpuasa tersebut, maka diadakan perayaan “Raya Kupat” di Buntet Pesantren. Walaupun tidak ada aturan khusus secara syariat, namun hal tersebut merupakan pemahaman kontekstual teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (‘urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.
Ajang Silaturahim
Jauh sebelum para pejabat mempopulerkan istilah open house, yakni sebuah ceremony ketika membuka pintu rumah untuk menerima masyarakat pada hari raya, para Kyai di pesantren seluruh nusantara yang merayakan Hari Raya Ketupat sudah mempraktikkan hal tersebut tanpa dibesar-besarkan media. Di Buntet Pesantren khususnya, hari raya idul fitri dijadikan ajang silaturahim hanya sebatas pada keluarga,kerabat dan masyarakat sekitar saja, baru kemudian pada Raya Kupat seluruh masyarakat dari berbagai penjuru daerah datang untuk bersilaturahim ke rumah-rumah Kyai. Para tamu selain meminta do’a dan nasihat, mereka juga disuguhi hidangan ketupat lengkap dengan opor ayam, sambal goreng, sayur sop dan menu lainnya yang rasanya khas dan tidak bisa didapatkan ditempat lain.
Raya Kupat juga merupakan welcome party bagi santri baru yang akan menimba ilmu di Buntet Pesantren, sebab kalender pengajian dan pendidikan di Buntet Pesantren akan kembali dibuka pada H+7 lebaran. Selain itu, pada hari tersebut santri yang kembali dari liburan juga berbondong-bondong datang, baik datang sendiri maupun diantar wali santri.
Ketupat Keramat
Ketupat adalah makanan yang terbuat dari beras dibungkus dengan janur yang dibentuk dengan unik, berbentuk segi empat lancip. Sebetulnya ketupat sudah ada sejak dulu sebagai sesajen penyembahan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan (Jay Akbar, historia.id : 2015). Perlahan tradisi tersebut dirubah oleh Sunan Kalijaga dan Kesultanan Demak sebagai simbol ngaku lepat (memohon maaf) pada perayaan Idul Fitri.
Selain rasanya yang khas, ketupat dari Buntet Pesantren diyakini sebagai ketupat keramat, Hal tersebut disebabkan pada proses pembuatannya. Ketupat di Buntet Pesantren dibuat oleh para Nyai dengan ikhlas dan ditiap prosesnya selalu dibacakan bismillah dan shalawat. Sehingga selain dimakan ditempat, para tamu membawa pulang ketupat dari Buntet Pesantren ini sebagai ‘azimah yang positif.
Makanan dengan proses pembuatan yang baik secara ilmiah memberikan efek positif. Sesuai penelitian Dr.Masaru Emoto dari Jepang, hasil penelitiannya adalah; air yang diberi kata-kata “cinta dan terimakasih” akan menghasilkan molekul air yang baik daripada air biasa.
Jawa Gendong
Satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perayaan ini adalah hadirnya Jawa Gendong. Jawa Gendong adalah sebutan bagi para pedagang yang hadir untuk meramaikan Raya Kupat di Buntet Pesantren. Dengan hadirnya ribuan orang yang memadati Buntet Pesantren pada Raya Kupat, hal ini tentu menjadi ladang ikhtiyar mencari rezeki dan berkah di Buntet Pesantren. Mereka menjual berbagai macam barang; makanan, minuman, pakaian, mainan anak-anak dan sebagainya. Tidak ada catatan khusus yang menjelaskan mengapa mereka disebut demikian, namun menurut penuturan para sepuh, disebut Jawa Gendong karena dulu sebagian besar dari mereka berasal dari wilayah Jawa dan dagangannya dibawa dengan cara digendong. Mereka menggelar “pasar mini” di pelataran Masjid Jami’ Buntet Pesantren. Bagi para orang tua yang ingin nyeneng-nyeneng anaknya, pasar Jawa Gendong merupakan pillihan yang sesuai untuk merayakan hari kemenangan.
Dari pemaparan diatas, maka tak salah ketika KH Said Aqil Siraj pada haul Buntet Pesantren yang lalu mengharuskan kita merawat tradisi yang baik dan selaras dengan syariat sebagai wajah Islam Nusantara yang aman, damai, penuh toleransi dan sebagai alat pemersatu. Dengan adanya Raya Kupat di Buntet Pesantren, seluruh masyarakat berbahagia dan bersatu, memperkuat hablun minallah dan hablun minannas secara bersamaan. Wallahu a’lam