Pondok Buntet Pesantren dan Resolusi Jihad
Tadi sekitar pukul 22.00, Santri Buntet dan keluarga besar Pondok Buntet Pesantren berziarah ke maqbaroh Buntet Pesantren wabilkhusus Kiai Abbas tanpa tim Kirab Hari Santri. Acara ziarah dalam rangka Hari Santri Nasional (Hari yang ditetapkan pemerintah demi menghargai kaum pesantren atas perannya kepada bangsa dan negara, dipilih pada tanggal 22 Oktober karena bertepatan dengan pencetusan Resolusi jihad) semula memang dijadwalkan dengan Tim Kirab Santri namun karena satu dan lain hal, Tim Kirab Santri urung datang ke Buntet Pesantren.
Seperti yang kita ketahui Buntet Pesantren punya peran besar dalam membuat Resolusi jihad berjalan “gilang gemilang”. Kiai Abbas adalah salah satu tokoh kuncinya. Beliau begitu berperan dalam banyak pertempuran melawan pasukan penjajah di berbagai tempat khususnya Perang 10 November, perang di mana Kiai Abbas konon dipercaya oleh Para Kiai sebagai Panglimanya, pemimpin tertinggi laskar perang sabil di Kota yang kini ditasbihkan sebagai Kota Pahlawan.
Tentu, Kiai Abbas tidak berjuang sendiri melainkan dengan para sanak famili, kerabat, dan santrinya serta segenap potensi Pondok Buntet Pesantren termasuk anak-anak yang kemudian dihimpun dalam Asybal semacam mata-mata/tim spionase demi mengawasi musuh, musuh mungkin mengira anak-anak sedang bermain biasa sehingga mereka tidak sadar mereka tengah diawasi hingga kemudian infonya diteruskan oleh mereka sendiri kepada para pejuang.
Yang paling dilibatkan oleh Kiai Abbas tentu anak-anaknya terlebih dahulu. KH. Mustahdi dan KH. Mustamid digembleng begitu keras sehingga mereka menyandang jabatan komandan karena kecakapan dan keberanian mereka. KH. Mustamid bahkan terus melanjutkan semangat Resolusi jihad hingga beliau duduk di parlemen, beliau lah salah satu orang yang vokal dalam “membela” Pancasila di tengah maraknya penggugatan Pancasila oleh ormas-ormas islam. Beliau juga yang dengan kecerdikannya meredakan “pembantaian” kaum muslim yang kala itu sempat marak, salah satunya Kasus Priuk.
Seorang anak muda tidak mau kalah dari kedua kakaknya; KH. Mustahdi dan KH. Mustamid. Pemuda itu bernama KH. Abdullah, 1 dari sedikit orang yang mampu mengenyam pelatihan militer formal langsung oleh Jepang sehingga ketika berjihad, beliau adalah orang “langka” yang memiliki kelebihan dibanding orang lain dalam hal mental, fisik, strategi, dan teknik berperang karena dari se-Indonesia hanya sekitar 500 orang yang memiliki kecakapan seperti KH. Abdullah.
Semangat Resolusi jihad Pondok Buntet Pesantren bahkan sudah dicanangkan ratusan tahun sebelum Resolusi jihad benar-benar dicetuskan. Kiai Muqoyyim telah mendeklarasikan jihad melawan penjajah dengan mendirikan Pondok Buntet Pesantren sehingga api Resolusi jihad kelak tidak akan padam meski beliau telah tiada. Di masanya, Kiai Muqoyyim adalah salah satu DPO penjajah yang paling dicari .
Langkah Kiai Muqoyyim yang mendirikan Pondok Pesantren dalam menggelorakan Resolusi jihadnya nampaknya merupakan langkah yang tepat. Dari salah satu santrinya, beliau mendapatkan menantu yang kemudian mempunyai putra bernama Kiai Mutaad yang kemudian turut berjihad dalam Perang Jawa bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro dan ulama-ulama lainnya.
Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Mutaad pun demikian. Beliau berjihad dengan menggembleng anak-anaknya yaitu Kiai Abbas dan para adiknya agar hubbul wathon dan mau mengerahkan segalanya untuk bangsa.
Pada akhirnya, atas ketidakhadiran tim Kirab Santri malam ini di Pondok Buntet Pesantren, kami memohon maaf kepada semua pihak. Ini semua di luar kemampuan kami. Bahkan kami pun merasa turut begitu menyesal dengan kondisi ini
Seperti yang kita ketahui Buntet Pesantren punya peran besar dalam membuat Resolusi jihad berjalan “gilang gemilang”. Kiai Abbas adalah salah satu tokoh kuncinya. Beliau begitu berperan dalam banyak pertempuran melawan pasukan penjajah di berbagai tempat khususnya Perang 10 November, perang di mana Kiai Abbas konon dipercaya oleh Para Kiai sebagai Panglimanya, pemimpin tertinggi laskar perang sabil di Kota yang kini ditasbihkan sebagai Kota Pahlawan.
Tentu, Kiai Abbas tidak berjuang sendiri melainkan dengan para sanak famili, kerabat, dan santrinya serta segenap potensi Pondok Buntet Pesantren termasuk anak-anak yang kemudian dihimpun dalam Asybal semacam mata-mata/tim spionase demi mengawasi musuh, musuh mungkin mengira anak-anak sedang bermain biasa sehingga mereka tidak sadar mereka tengah diawasi hingga kemudian infonya diteruskan oleh mereka sendiri kepada para pejuang.
Yang paling dilibatkan oleh Kiai Abbas tentu anak-anaknya terlebih dahulu. KH. Mustahdi dan KH. Mustamid digembleng begitu keras sehingga mereka menyandang jabatan komandan karena kecakapan dan keberanian mereka. KH. Mustamid bahkan terus melanjutkan semangat Resolusi jihad hingga beliau duduk di parlemen, beliau lah salah satu orang yang vokal dalam “membela” Pancasila di tengah maraknya penggugatan Pancasila oleh ormas-ormas islam. Beliau juga yang dengan kecerdikannya meredakan “pembantaian” kaum muslim yang kala itu sempat marak, salah satunya Kasus Priuk.
Seorang anak muda tidak mau kalah dari kedua kakaknya; KH. Mustahdi dan KH. Mustamid. Pemuda itu bernama KH. Abdullah, 1 dari sedikit orang yang mampu mengenyam pelatihan militer formal langsung oleh Jepang sehingga ketika berjihad, beliau adalah orang “langka” yang memiliki kelebihan dibanding orang lain dalam hal mental, fisik, strategi, dan teknik berperang karena dari se-Indonesia hanya sekitar 500 orang yang memiliki kecakapan seperti KH. Abdullah.
Semangat Resolusi jihad Pondok Buntet Pesantren bahkan sudah dicanangkan ratusan tahun sebelum Resolusi jihad benar-benar dicetuskan. Kiai Muqoyyim telah mendeklarasikan jihad melawan penjajah dengan mendirikan Pondok Buntet Pesantren sehingga api Resolusi jihad kelak tidak akan padam meski beliau telah tiada. Di masanya, Kiai Muqoyyim adalah salah satu DPO penjajah yang paling dicari .
Langkah Kiai Muqoyyim yang mendirikan Pondok Pesantren dalam menggelorakan Resolusi jihadnya nampaknya merupakan langkah yang tepat. Dari salah satu santrinya, beliau mendapatkan menantu yang kemudian mempunyai putra bernama Kiai Mutaad yang kemudian turut berjihad dalam Perang Jawa bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro dan ulama-ulama lainnya.
Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Mutaad pun demikian. Beliau berjihad dengan menggembleng anak-anaknya yaitu Kiai Abbas dan para adiknya agar hubbul wathon dan mau mengerahkan segalanya untuk bangsa.
Pada akhirnya, atas ketidakhadiran tim Kirab Santri malam ini di Pondok Buntet Pesantren, kami memohon maaf kepada semua pihak. Ini semua di luar kemampuan kami. Bahkan kami pun merasa turut begitu menyesal dengan kondisi ini