Pelajaran Dari Kisah Isra’ Mi’raj (Bagian 2-Selesai)
belitung.tribunnews.com |
Isra’ Mi’raj merupakan salah satu mukjizat Rasulullah SAW. Di dalamnya terdapat beberapa pelajaran yang besar dan rahasia-rahasia yang agung. Di antaranya adalah:
1. Isra’ Mi’raj merupakan bukti keutamaan Nabi SAW, di mana Allah memuliakan dan mengistimewakan beliau secara khusus dengan berbagai macam kemuliaan.
2. Allah mengabarkan kepada Nabi SAW bahwa Dia telah mengampuni dosa-dosa beliau yang terdahulu ataupun yang akan datang. Tidak ada riwayat bahwa nabi-nabi lainnya pernah mendapat kabar seperti demikian.
3. Nabi SAW adalah orang pertama yang diberikan dan yang memberikan syafa’at. Ini menunjukkan keistimewaan dan keutamaan beliau.
4. Rasulullah SAW tidak mementingkan diri beliau sendiri dalam berdoa kepada Allah. Tatkala Allah memberikan satu doa yang mustajab kepada setiap nabi, maka setiap dari mereka telah menggunakannya untuk berdoa di dunia, namun Rasulullah SAW menyimpan doanya untuk digunakan sebagai syafa’at bagi umatnya.
5. Allah bersumpah dengan umur Nabi SAW dalam firman-Nya:
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ (الحجر: ٧٢)
Artinya: Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan). (QS. Al-Hijr: 72)
Sumpah dengan umur beliau ini menunjukkan akan kemuliaan kehidupan beliau di mana di dalamnya terdapat berkah, baik yang umum ataupun yang khusus. Tidak ada sumpah seperti ini pada nabi-nabi lainnya.
6. Allah SWT menghormati Nabi SAW dalam memanggil. Allah tidak memanggil beliau dengan namanya, namun memanggil dengan sifat-sifat beliau yang mulia, seperti يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ dan يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ. Keistimewaan ini tidak ditetapkan pada selain Rasulullah SAW. Nabi-nabi lainnya dipanggil dengan menggunakan namanya. Seperti:
7. Diwajibkannya shalat ketika mi’raj. Ada keterkaitan antara kefardhuan shalat dan mukjizat Isra’ Mi’raj itu sendiri. Shalat adalah mi’raj ruhaniah. Jika mi’rajnya Nabi SAW ke langit dengan jasad dan ruhnya adalah mukjizat, maka Allah menjadikan untuk umat beliau sebuah mi’raj ruhani lima kali dalam sehari. Ketika mereka shalat, maka ruh dan hati mereka naik menuju Allah SWT dan lari meninggalkan hawa nafsu dan syahwat mereka. Ketika ruh mereka mi’raj, maka mereka akan menyaksikan keagungan, kekuasaan dan ke-Esa-an Allah SWT. Pada tahap ini mereka akan meninggalkan gelar-gelar kehormatan manusia di muka bumi, tidak secara terpaksa dan diperbudak, namun dengan cara yang baik, luhur dan suci serta dengan cara shalat. Shalat bukanlah seremoni dan gerakan-gerakan yang tidak mengandung makna, akan tetapi ia adalah madrasah yang mendidik orang-orang mu’min akan makna-makna kebaikan, cinta dan keutamaan di tengah kecamuk dan hiruk pikuk kehidupan dunia.
Dibelahnya Dada Nabi SAW Yang Mulia
Dada Nabi SAW dibelah sebanyak empat kali, yaitu:
1. Ketika beliau masih kecil dibawah asuhan Halimah As-Sa’diyah. Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a bahwa Rasulullah SAW didatangi Malaikat Jibril ketika tengah bermain bersama anak-anak. Lalu Jibril mengambil dan membuat Raslullah SAW pingsan. Kemudian ia membelah dada beliau dan mengeluarkan segumpal darah. Jibril berkata: “Ini adalah bagian syaitan darimu”. Lalu membasuhnya dalam baskon emas dengan air zamzam. Teman-teman bermain beliau mengira bahwa beliau dibunuh. Mereka melaporkannya ke Halimah As-Sa’diyah. Anas berkata: “Aku melihat bekas jahitan di dada Rasulullah SAW.”
2. Ketika beliau berusia sepuluh tahun. Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkan kisah ini dalam kitab Zawa’id al-Musnad dengan rawi-rawi yang terpercaya. Al-Hakim, Ibn Hibban dan Abu Na’im juga meriwayatkannya. Ketika itu Rasulullah SAW tengah berada di lapangan. Lalu didatangi oleh dua malaikat.
3. Ketika diangkat menjadi nabi. Aisyah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bernadzar akan ber-i’tikaf selama satu bulan. Berketepatan jatuh pada bulan Ramadhan. Pada suatu malam beliau mendengar suara “As-salamu ‘alaika”. Beliau mengira bahwa itu suara jin. Lalu beliau pulang dan mengabarkannya kepada Khadijah r.a. Pada malam lainnya, beliau didatangi Malaikat Jibril dan Mika’il. Lalu Jibril membelah hati beliau dan mengeluarkan bagian yang dikehendaki Allah untuk dikeluarkan.
4. Ketika malam Isra’. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang merebahkan diri di tembok Ka’bah beliau didatangi sesosok Malaikat. Lalu ia membelah dada dan mengeluarkan hati beliau. Malaikat tersebut membawa baskom emas yang dipenuhi iman dan hikmah. Ketika hati telah dibasuh dan dikembalikan ke dalam perut Nabi SAW, kemudian seekor binatang yang lebih kecil daripada baghal dan lebih besar daripada keledai didatangkan dihadapan beliau.
Al-Hafizh Al-Qasthallani (w. 1517 M/ 923 H) mengatakan bahwa dibelahnya dada, dikeluarkannya hati dan semisalnya yang berupa sesuatu yang berada di luar kebiasaan adalah di antara hal yang wajib kita terima tanpa berusaha memalingkannya dari hakikat kekuasaan Allah, karena peristiwa-peristiwa ini tidak ada yang mustahil.
Buraq
Al-Buraq (البُراق) terambil dari kata البَرِيقyang bermakna “putih”, karena ia berwarna putih. Atau terambil dari kata البَرْقyang berarti “kilat” karena jalannya yang sangat cepat. Allah SWT mengutusnya dari surga. Buraq termasuk dari alam gaib yang tidak disifati jantan atau betina. Dhamirnya kadang mudzakkar, kadang pula mu’annats. Ia datang dalam keadaan berpelana dan diberi tali kekang. Diakatakan bahwa pelananya terbuat dari mutiara putih dan kekangnya terbuat dari yaqut merah. Panjangnya melebihi keledai. Namun ia tidak seperti hewan-hewan dunia, sehingga ia tidak seperti kuda. Langkahnya sejauh mata memandang. Dalam satu keadaan, kadang-kadang kaki depannya lebih panjang daripada kaki belakangnya. Dalam keadaan lain kadang-kadang sebaliknya. Bentuknya seperti baghal (peranakan kuda dan keledai), tidak seperti kuda. Barangkali ini adalah isyarat bahwa perjalanan Isra’ ini adalah perjalanan dalam keselamatan dan keamanan, bukan perjalanan perang dan ketakutan. Penggunaan buraq sebagai kendaraan dimaksudkan untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa. Dimaksudkan pula sebagai bentuk penghormatan kepada diri Rasulullah SAW, sebagaimana seorang raja jika ingin memanggil kekasihnya atau orang yang dihormatinya, maka ia akan mengutus bawahannya untuk menjemputnya dengan membawa kendaraan indah.
Sidratul Muntaha
Sidrah (سِدرة) adalah nama sebuah pohon yang berbuah. Di dalam kamus Al-Munawwir diartikan dengan “pohon bidara”. Pohon ini berada di langit ke tujuh. Al-Muntahaartinya “ujung”. Dinamakan demikian karena ia adalah ujung dari sesuatu yang turun dari atasnya berupa takdir-takdir. Ia juga ujung dari sesuatu yang naik dari bumi berupa amal-amal manusia. Pohon sidrah dipilih karena mempunyai naungan yang luas, rasa yang enak dan bau yang harum.
Hikmah Difardhukannya Shalat Pada Malam Isra’ Mi’raj
Ketika Rasulullah SAW naik ke langit, beliau melihat cara beribadah malaikat yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang berdiri terus-menerus tanpa duduk, ada yang ruku’ terus-menerus tanpa sujud, ada yang selalu sujud tanpa ruku’. Lalu Allah menghimpun cara-cara beribadah malaikat ini dalam rangkaian satu rakaat shalat untuk Rasulullah SAW dan umatnya dengan syarat-syarat lainnya seperti thuma’ninah.
Shalat difardhukan langsung oleh Allah tanpa melalui perantara. Hikmahnya adalah sebagai peringatan akan keutamaan shalat di mana ia tidak diwajibkan kecuali di hadapan Hadirat Yang Maha Suci. Karena itu, kesucian sebagai syarat dan keadaan shalat. Shalat difardhukan atas Nabi SAW di atas langit ke tujuh. Sebelum mi’raj Nabi SAW telah menyucikan fisik dan batinnya dengan air zamzam, sebagaimana orang shalat yang menyucikan diri dari hadatsdengan berwudhu atau mandi. Rasulullah SAW keluar meninggalkan dunia (bumi) dengan jasadnya, sebagaimana keadaan orang shalat yang keluar dari dunia dengan hatinya. Dalam perjalanan Isra’, Nabi SAW tidak melakukan segala sesuatu kecuali munajat kepada Allah dan menghadapkan badannya ke arah kiblat ketika itu, yaitu Bait al-Maqdis, lalu diangkat ke langit, sebagaimana orang shalat yang mengangkat badannya memberi isyarat ke Qiblah ‘Ulya, yakni Bait al-Ma’mur.
Setiap kaum memliki cara penghormatan yang berbeda. Penghormatannya bangsa Arab adalah dengan mengucapkan salam. Penghormatan kepada kaisar adalah dengan sujud di hapadan raja dan mencium bumi. Penghormatan Persia adalah dengan cara meletakkan tangan ke bumi di hadapan rajanya. Penghormatan Habasyah dengan cara menggenggamkan kedua tangan di atas dada disertai diam. Penghormatan Romawi adalah dengan membuka penutup kepala. Berbagai macam cara penghormatan ini pada umumnya terkumpul di dalam shalat di mana shalat adalah bentuk penghambaan kepada Raja Diraja, Allah SWT. Oleh karena itu, pantaslah jika pada akhir shalat terdapat bacaan “التَّحِيّاتُ للهِ”.
Kisah Mi’raj berupa naiknya Rasulullah SAW ke langit, melihat Allah SWT, lalu turun lagi ke bumi janganlah menjadikan seorang muslim menduga bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak matematis tertentu dan terbatas, karena bisa menyebabkan kekufuran. Naik dan turun adalah sifat Rasulullah SAW itu sendiri sebagai hamba Allah. Naik, turun dan letak tidak mungkin dinisbatkan kepada Allah.
Keadaan mi’raj Rasulullah SAW sama dengan Nabi Yunus bin Matta ‘alaihissalam ketika ditelan ikan sampai di bawa ke dasar lautan dalam hal bahwa kedua peristiwa tersebut merupakan penjelasan Allah kepada makhluk-Nya bahwa Dia tidak memiliki arah, tidak didefinisikan dalam letak, batas atau tempat. Al-Baghawi (w. 1117 M/510 H) dan ulama lainnya mengatakan bahwa ikan yang menelan Nabi Yunus pergi sampai ke dasar laut yang jauhnya enam ribu tahun perjalanan. Maksud dari perjalanan ke langit dengan adanya jarak tempuh ini adalah karena Allah ingin menampakkan kedudukan Rasulullah SAW di sisi penghuni-penghuni langit bahwa beliau adalah makhluk paling utama. # Wallahu a’lam.
Penulis adalah warga Buntet Pesantren