Negara dan Politik dalam Islam
Diskusi mingguan FORSILA BPC Jakarta Raya |
Negara Islam
“Apakah Nabi Muhammad Saw. mendirikan negara Islam?”, begitulah pertanyaan yang muncul untuk mengawali tulisan ini.
Madinah yang dulu bernama Yatsrib merupakan kota yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Nabi kemudian berinisiatif untuk mendirikan negara dengan meyatukan seluruh elemen masyarakat Madinah tanpa pandang bulu. Akhirnya, disepakatilah Piagam Madinah sebagai landasan bernegara bangsa Madinah yang isinya adalah larangan membunuh antarsuku atau antaragama, larangan berperang, dan hak untuk melaksanakan ritual agama masing-masing (Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi, Atheis, dan penyembah berhala). Dalam Piagam Madinah, tidak ada al-Quran dan al-Hadits. Hal ini menunjukkan bahwa, Nabi Muhammad Saw. tidaklah mendirikan negara Islam.
Forsilawan Sofi Mubarok, S.S.I., M.H.I. |
Sejatinya konsep demikian ini sangat sesuai jika kita kontekstualisasikan di Indonesia. Maka K.H. Abdul Wahid Hasyim ketika diminta oleh Ir. Soekarno untuk merumuskan dasar negara, beliau menerima saran dari ayahnya, Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari, yakni Piagam Madinah, dan jadilah Piagam Jakarta sebagai dasar Negara Indonesia.
Abdullah Ahmad an-Naim menyatakan bahwa, laa khilafata fi al-islam, tidak ada khilafah dalam Islam. Pendapat ini diperkuat oleh Guru Besar al-Azhar, Syaikh Ali bahwa al-Islamu dinun laa daulah, Islam itu agama, bukan kedaulatan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa islam terpisah dari negara.
Politik Islam
Para ulama ikhtilaf dalam menyikapi politik islam, apakah ada atau tidak. Seringkali kita dengar istilah fiqh siyasah, siyasah syar’iyyah, begitulah bahasa politik islam dalam kitab-kitab karya ulama. Ibn Aqil mendefinisikan fiqh siyasah atau siyasah syar’iyyah ini sebagai suatu strategi, kebijakan, tata aturan, ataupun rumusan yang bertujuan menciptakan kebaikan dan menjauhkan kerusakan meskipun tidak ada dasarnya dari nabi ataupun wahyu.
Pengertian tersebut sama sekali tidak menunjukkan diskriminasi terhadap siapapun. Pula tidak menyentuh keunggulan siapapun. Artinya, fiqh siyasah atau siyasah syar’iyyah ini berlaku umum, untuk siapapun tanpa ada kekhususan. Lebih jelasnya, siyasah syariyyah memiliki tiga prinsip, yakni keadilan, penegakan hukum, dan persamaan atau penyetaraan. Dengan demikian, prinsip dan definisi ini berjalan sejalan.
Yahudi membunuh muslim pada zaman Nabi. Ini jelas melanggar nota kesepakatan yang telah diketahui bersama dalam Piagam Madinah itu. Hukum dalam hal ini jelas ditegakkan.
Untuk menengahi keberbedaan pendapat itu, boleh kita ambil pendapatnya Hujjat al-Islam, Imam Ghazali. Muallif Ihya Ulumuddinitu berpendapat bahwa Islam dan politik adalah saudara kembar. Hal ini dapat kita artikan sebagai sebuah simbiosis mutualisme, keduanya dapat saling membantu untuk pengembangan masing-masing seperti layaknya antarsaudara.
*Disarikan dari diskusi mingguan Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC) Jakarta Raya pada Rabu, 29 April 2015 dengan narasumber kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Forsilawan Sofi Mubarok, S.S.I., M.H.I.