Muazin Masjid Agung Buntet Pesantren itu Lumpuh
H Mursyid bersama penulis di kediamannya saat Hari Raya Idul Fitri 1439 H (15/6) |
Namanya Mursyid. Karena sudah haji, ia biasa disapa Haji Mursyid. Meskipun ia sudah menunaikan rukun Islam kelima, tetapi bukan berarti ia orang berada. Ibadah itu ia laksanakan atas bantuan dari seorang santri Pondok Buntet Pesantren H Abdurrahman dari Jakarta.
Saat ini, ia tak bisa aktif lagi seperti dahulu. Sebab, kakinya tak dapat ia gerakkan. Beberapa bulan ini, ia lumpuh. Untuk pindah dari kamarnya ke ruang lain di rumahnya saja ia harus merangkak. Istrinya beberapa tahun lalu meninggal, sementara anaknya menyebar. Ia tinggal bersama cucu dan istri cucunya yang juga mengalami sakit lambung.
Haji Mursyid merupakan seorang legenda Buntet Pesantren di bidang tarik suara. Sebelum menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren belasan tahun silam, ia sejak mudanya sering diajak oleh gurunya, KH Jawahir Dahlan, ke berbagai daerah untuk mendampinginya. Ia melantunkan kasidah-kasidah.
“Sampai ke pinggir laut selatan, ke atas gunung,” kisahnya kepada Media Buntet Pesantren, Jumat (15/6).
Ia belajar melantunkan lagu-lagu itu dengan otodidak. Sembari menggendong keponakannya, ia ‘masang telinga’ di bilik baru sekitar Masjid Agung. Di dalam bilik itu, tinggal santri dari Banten, yakni Tubagus Mansur Ma’mun dan rekan-rekannya. Mereka membawa gambus ke bilik itu.
“Aljihadiyah teng teng teng teng. Aljihadiyah teng teng teng teng. Romzul Islam bil wathaniyah,” ia melantunkan lagu yang disenandungkan oleh Tubagus Mansur dan kawan-kawannya sembari menirukan petikan gambusnya.
Tubagus Mansur dan Tubagus Soleh merupakan dua orang di antara pendiri Jam’iyatul Qurra wal Huffazh bersama KH Jawahir Dahlan atas prakarsa dari KH Abdul Wahid Hasyim.
Saat mengambil air zam-zam di Masjidil Haram ketika ia berhaji, ia menyanyikan lagu zam-zam versi India. Sontak suaranya itu mengundang banyak orang berkerumun menyimak senandungnya. Mereka pada aneh mengingat tubuhnya yang kecil kok menyanyi lagu India. Biasanya, orang India besar-besar. Rekannya menjelaskan bahwa ia adalah orang Indonesia yang mahir melantunkan lagu India, Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda.
Haji Mursyid juga dikenal oleh masyarakat Buntet Pesantren dengan ‘Yalel’nya. Yalel merupakan lafal yang dilantunkan saat mengantar calon pengantin menuju tempat akadnya. Meskipun usianya sudah senja, Yalel-nya Haji Mursyid paling ngelangen, nikmat didengar. Seakan ada unsur x yang membuatnya demikian. Saban sebelum Subuh, ia juga melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Kini, meskipun rumahnya yang terletak beberapa meter sebelah barat dari masjid, ia tak mampu turut berjamaah setiap waktu sebagaimana biasanya karena penyakitnya itu.
Ia terkadang tidur di emperan depan rumahnya untuk mencari suasana sejuk di tengah malam yang tak ia dapati di dalam kamarnya.
Untuk menghormati gurunya, KH Jawahir Dahlan, ia setiap tahun memberikan zakat fitrahnya ke gurunya. Saat gurunya telah tiada, ia menyerahkan zakatnya itu ke putra gurunya, K Khijazi. Putra gurunya itu juga telah tiada sejak tujuh tahun silam, ia pun menyerahkan zakat fitrahnya ke gurunya. Saat hari raya ini ia tak dapat berjalan, ia minta kepada cucunya untuk menyerahkan zakat fitrahnya itu ke cucu gurunya.
Semoga Allah lekas mengangkat penyakitnya sehingga ia bisa kembali beraktifitas seperti sedia kala.
(Syakir NF)