Hukum Pajak dalam Perspektif Islam oleh KH. Tb. Ahmad Rifqi Chowas
Pada Halaqoh Perpajakan kemarin, KH. Tubagus Ahmad Rifqi Chowas memaparkan tulisannya yang berjudul “Hukum Pajak dalam Perspektif Fikih”. Menurut beliau, secara etimologi, pajak dalam islam dikenal dengan istilah Al-Dharibah atau biasa disebut Al-Maks yang artinya adalah pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak, sedangkan secara istilah, menurut para ahli keuangan, pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada Negara. Pajak berbeda dengan Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan islam), Kharaj(pajak bumi yang dimiliki oleh Negara Islam), dan ‘Usyur (Bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam) walaupun semuanya tampak memiliki kemiripan.
Menurut jumhur ulama, menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana. Untuk menerapkan kebijaksanaan inipun, negara tetap harus memenuhi terlebih dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan pemerintahan islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Al-Juwaini dalam kitab Ghiyats Al-Umam fi Al-tiatsi Al-Zhulami, Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Mustshfa, Imam Asy-Syatibi di dalam Al-I’tishom, dan beberapa ulama lainnya.
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas adaah alasan utamanya untuk mewujudkan kemaslahatan umat karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran” yang jika pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka akan timbul kemudharatan sedangkan mencegah kemudharatan adalah suatu kewajiban sebagaimana kaidah ushul fiqih : Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Dalil-dalin syar’i lainnya yang menjadi argumentasi para ulama yang memperbolehkan memungut pajak adalah sebagai berikut :
1. Firma Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177
2. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang membolehkan, seperti : Mashalih Mursalah (atsa dasar kepentingan), kaidah mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat, kaidah lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum.
3. Pada dsarnya, tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana yang dikemukana oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Asy-Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain
Adapun hakikat pajak, terutama yang membedakannya dengan zakat diungkapkan oleh M. Yusuf Qardhawi, yaitu sebagai berikut :
1. Istilah pajak (Dharibah) diambil dari kata dharaba, yang artinya utang, upeti, dan sebagainya yang tak lain merupakan sesuatu ang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
2. Pajak merupakan kewajiban dari Negara untuk kemaslahatan umum dan tidak ada hubungan dengan makna ibadah dan pendekatan diri terhadap Allah.
3. Batas nisab dan ketentuan pajak tergantung pada kebijaksanaan dan kemampuan penguasa baik mengenai objek, persentase, harga, dan ketentuan.
4. Pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus baik mengenai jenis, persentase, dan kadarnya semuanya ditetapkan pemerintah melalui pertimbangan para ahli (cendekia).
5. Pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum negara dan pengaturannya ditetapkan oleh penguasa (pemerintah).
6. Pajak dipungut oleh Negara dari wajib pajak.
7. Tujuan pajak ialah untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara demi mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu.
Para ulama yang membolehkan pemerintahan islam memungut pajak dari kaum muslimin meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, syarat-syarat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Negara komitmen dalam penerapan syariat islam.
2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan maslahat umum.
3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara baik dari zakat, jizyah, al-usyur, dan lain-lain.
4. Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
5. Pemungutan dan distribusinya harus adil dan merata.
6. Sifatnya sementara dan tidak terus menrus.
7. Harus dihilangkan terlebih dahulu pendanaan yang berlebihan dan hanya mengahamburkan uang negara saja.
8. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.