Antara Imam Jalaluddin al-Suyuthi dan Imam Zakaria al-Ansori, Siapa Pembaharu di Zamannya?
Dua karya al-Suyuthi dan al-Ansori |
Oleh: Muhammad Nasif Abdurrakhman*
Lahir di tengah-tengah keluarga yang miskin papa di Desa Sunaikah, Mesir pada tahun 826 H/1420 M, al-Imam Zakaria al-Ansori tidak kehilangan semangatnya untuk terus belajar dan berprestasi. Sehingga pada usia remaja ia memutuskan untuk pergi ke kota Kairo Mesir untuk belajar di al-Azhar asy-Syarif.
Ketika al-Imam Zakaria al-Ansori menginjak usia 25 tahun dan sudah cukup lama menjadi santri di al-Azhar Mesir pada tahun 849 H/1445 M, bertepatan dengan tahun tersebut lahir seorang ulama yang kelak dikenal dengan julukan Ibnul Kutub (the son of books) di Desa Asyuth Mesir, ialah al-Imam Jalaluddin as-Suyuti.
Lahir dan tumbuh besar di negeri yang sama, al-Imam Zakaria al-Ansori dan al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, kedua ulama agung ini di kemudian hari akan terus menjadi perhatian dan perbincangan umat Islam, dikarenakan kecerdasan dan prestasi keduanya yang seolah-olah saling berkejar-kejaran serta berlomba-lomba dalam kebaikan, melaksanakan perintah Allah swt. yang tersurat dalam al-Qur’an Surat al-Baqoroh ayat 148.
…فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
Artinya : “…Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan”
Adalah menjadi maklum jika kemudian orang-orang memperbincangkan bahkan membandingkan-bandingkan keduanya. Lalu muncul pertanyaan “manakah diantara keduanya yang memiliki kedudukan lebih tinggi?” Jawabannya, tentu hanya Allah SWT yang mengetahui kedudukan dan derajat seorang hamba di sisi-Nya, walaupun pada kenyataannya para ulama tetap memperbincangkannya dan pada ahirnya terjadi perberbedaan pendapat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam sebuah Hadits yang Shahih dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda.
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allâh akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun” (H.R. Abu Dawud)
Mbah Maimun Zubair dalam kitabnya al-Ulama al-Mujaddidunmenjelaskan bahwa ulama yang menjadi pembaharu pada abad kesembilan hijriah adalah al-Imam al-Hafidh Jalaluddin al-Suyuthi. Meneruskan gurunya, ia menulis Tafsir al-Jalalain dalam bidang tafsir. Al-Suyuthi juga menulis ad-Durrul Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur dalam bidang tafsir (17 Jilid), ad-Dibaj ala Shahih Musim ibn al-Hajjaj dalam bidang hadits (6 Jilid), al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an dalam bidang tafsir dan ilmu al-Qur’an, al-Jami’ al-Shaghir dalam bidang hadits, Al-Asybah wa an-Nazhair dalam bidang qawa’id fiqih, al-Asybah wa an-Nazhair dalam nahwu, Syarh Sunan Ibnu Majah dalam bidang hadits, al-Mazhar fi Ulum al-Lughah wa Anwa’uha dalam bidang ilmu bahasa, Asbāb Wurud al-Hadits dalam bidang hadits, Asrar Tartib al-Qur’ān dalam bidang ilmu al-Qur’an, Tarikh al-Khulafa’ dalam bidang sejarah, dan ratusan karya tulis yang lainnya. Hal ini menunjukkan ketinggian derajat al-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dibandingkan dengan ulama-ulama lain di masanya.
Sementara itu, al-Imam al-Sakhowi dan Sayyid Abdul Qodir bin Abdullah al-Aydrus menulis dalam kitabnya, al-Nur al-Safir ‘an Akhbar al-Qornil-‘Asyir, bahwa ulama yang menjadi pembaharu pada abad ke-9 hijriah adalah Syaikhul Islam Zakaria al-Ansori. Di antara puluhan karyanya adalah al-Ghurorul Bahiyah fii Syarkhi Bahjah al-Wardiyah dalam fiqih (5 Jilid), Tuhfat al-Bari bi Syarhi Shohih al-Bukhori dalam bidang hadits (11 Jilid), Asna al-Mathalibfi Syarhi Raudhot al-Thalib dalam bidang fiqih (4 jilid), Fath al-Rahmandalam bidang tafsir, Al-Daqa`iq al-Muhkamah dalam bidang ilmu qira’at, Tanqih Tahrir al-Lubab dalam bidang fiqih, Fath al-Baqi Syarh Alfiyah al-‘Iraqidalam bidang mushthalah hadis, Labb al-Ushul dalam bidang usul fiqih, Syarh Syudzur al-Dzahab dalam bidang nahwu, Syarh Risalah al-Qusyairiyah dalam bidang tasawuf, Syarh Isaghuji dalam bidang manthiq (ilmu logika), Al-Lu’lu’ al-Nazhim fi Rumi al-Ta’allumi wa al-Ta’lim dalam bidang tarbiyah (ilmu pendidikan), dan ratusan karya tulis yang lainnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, tentu sebenarnya bukanlah tugas kita untuk menilai kedudukan dan derajat seseorang. Terlebih lagi kedudukan dan derajat seorang ulama, karena hanya Allah SWT yang mengetahui kedudukan seorang hamba di sisi-Nya. Seperti tersurat dalam al-Qur’an Surat al-Hujarat ayat 13.
إنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dan dalam al-Qur’an Surat an-Najm ayat 32;
هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
Artinya: “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”
Tugas kita sebagai seorang santri adalah mengikuti laku lampah para ulama dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan yang baik (Uswatun Khasanah) di mana kedudukan mereka adalah pewaris para Nabi (Warotsatul Anbiya). Sehingga kita terpacu untuk terus belajar dan berprestasi seperti yang dicontohkan oleh mereka, para ulama, para kiai, dan guru-guru kita.
Adapun para ulama yang menetapkan salah satu diantara al-Imam Zakaria al-Ansori atau al-Imam Jalaluddin as-Suyuti sebagai mujaddid pada abad kesembilan Hijriah sesuai dengan hadits Rasulullah SAW di atas adalah dengan tanpa mengurangi derajat dan kemuliaan salah seorang diantara keduanya.
Ketika al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wafat di usia 62 tahun, al-Imam Zakaria al-Ansori diberikan usia yang lebih panjang oleh Allah SWT hingga 15 tahun berikutnya, dan saat itu al-Imam Zakaria al-Ansori menjadi ulama yang paling dimuliakan dan dihormati di seluruh dunia Islam yang nyaris tidak ada tandingannya.
Hingga pada suatu hari salah seorang muridnya yakni al-Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni, penulis kitab al-Mizan al-Kubro, memimpikan gurunya menaiki sebuah bahtera yang layarnya terbuat dari sutra, pergi berlayar sambil duduk bersama al-Imam al-Syafi’i. Mereka berlabuh di sebuah pulau yang indah yang di dalamnya terdapat kebun, buah-buahan, dan bidadari-bidadari cantik.
Al-Imam Zakaria al-Ansori menafsirkan mimpi muridnya tersebut dan berujar, “kalau mimpimu ini benar, maka kelak aku akan dimakamkan di samping makbaroh al-Imam asy-Syafi’i Rodhiyallahu ‘anhu”.
Benar saja. Beberapa tahun kemudian al-Imam Zakaria al-Ansori wafat di usia 103 tahun. Dan atas perintah dari Pangeran Khair Bik (wakil raja) yang berkuasa saat itu, al-Imam Zakaria al-Ansori dimakamkan di Basyattin kota Kairo Mesir di samping maqbaroh al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’, pendiri Mazhab Syafi’i yang mazhabnya menjadi Mazhab resmi umat Islam di Indonesia saat ini.
اَللَّهُمَّ انْفَعْنَا بِهِمْ وَبِعُلُوْمِهِمْ فِي الدَّارَيْن وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ آمِين
*Penulis adalah pengajar di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putra 2 Buntet Pesantren