Cara Shalat Saat Terjadi Bencana
Sumber: NU Online |
Oleh:
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Baru saja kita dikejutkan dengan berita duka yang menimpa saudara-saudara kita, yakni musibah gempa bumi di tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Diberitakan bahwa gempa ini berkekuatan 7,0 skala richter. Kekuatan gempa ini sampai berdampak ke pulau Bali.
Tidak lama kemudian beredar video yang menggambarkan situasi gempa di tengah-tengah pelaksanaan shalat. Dalam video yang menjadi viral tersebut, terlihat imam shalat tengah berdiri membaca Surat Al-Fatihah. Terdapat beberapa ma’mum di belakangnya. Ketika sampai pada ayat terakhir, mendadak gempa terjadi. Sebagian ma’mun berlari meninggalkan tempat shalat, namun sang imam dan sebagian ma’mun lainnya memilih bertahan. Bahkan imam melanjutkan bacaan shalatmya dengan membaca Ayat Kursi.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimanakah ilmu fiqih memandang fenomena seperti ini?
Sebetulnya masalah seperti terjadinya semacam gempa di tengah-tengah shalat telah lama dikaji oleh para fuqaha’. Bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai bab atau sub bab tersendiri di dalam karyanya.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami (w. 973 H) pada bab Kaifiyah Shalat al-Khauf di dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj mengatakan bahwa dalam situasi yang mencekam, seperti di tengah-tengah berkecamuknya perang, kebakaran, banjir, ancaman binatang buas, atau dalam rangka menjaga harta dari pencuri, sesorang boleh shalat dengan tidak menghadap kiblat.
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239)
Ibn Umar berkata menafsiri ayat di atas: “Dalam keadaan orang yang menghadap kiblat atau pun tidak menghadapnya.”
Diperbolehkan pula shalat berjamaah meskipun posisi imam tidak berada di depan ma’mum, atau imam dan para ma’mum menghadap ke arah yang berlawanan. Begitu pula, diperbolehkan melakukan banyak gerakan tubuh, seperti berjalan, berlari atau melompat sesuai kebutuhan. Namun jika gerakan-gerakan tersebut tidak dibutuhkan, maka shalatnya batal. Tidak diperbolehkan berteriak atau berbicara, karena tidak dibutuhkan.
Jika tidak mampu melakukan ruku’ dan sujud, maka cukup dengan melakukan isyarat dengan menundukkan kepala. Menundukkan kepala sebagai isyarat sujud harus lebih rendah daripada ruku’.
Syaikh Nawawi Al-Bantani mengatakan bahwa jika keadaan telah aman, maka wajib menghadap kiblat, dan tidak perlu kembali ke tempat semula, namun meneruskan shalatnya di tempat di mana ia mengakhiri pelariannya tersebut.
Akan tetapi mempraktikkan shalat seperti ini tidak mudah, terlebih jika shalatnya berjamaah. Karena semua yang shalat harus mengerti cara shalat dalam situasi mencekam.
Boleh jadi imamnya mengerti fiqih, namun ma’mumnya tidak, dan imam khawatir seandainya ia berlari keluar masjid, maka ma’mum mengira shalatnya dibatalkan. Sehingga imam tetap memilih bertahan. #
والله أعلم