Uncategorized

Totalitas Santri di Era Modernisasi

Oleh:
Ahmad Subhan Ainurrofiq
Ketua divisi keilmuan FORSILA BPC Jakarta Raya
Santri, sebuah kata yang begitu familiar dan tak asing lagi di telinga kita. Namun, mungkin masih banyak yang belum tahu apa itu arti sebenarnya dari kata santri itu sendiri. Secara etimologi, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), santri adalah orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Sedangkan secara terminologi, santri adalah sebutan bagi orang yang mengikuti pendidikan ilmu agama Islam di suatu tempat yang dinamakan Pesantren.Ya, begitulah kira-kira definisi tentang santri.
Namun jika kita tilik dari kehidupan asli seorang santri, sebenarnya santri bukan hanya orang yang mendalami agama Islam di Pesantren saja, tetapi lebih dari itu, santri memiliki makna yang sangat luas.
Terkadang kita sebagai seorang pribumi memandang sebelah mata kepada santri, kita terlalu beranggapan bahwa santri itu hanya membuat risih, pembuat onar, berisik, dan lain-lain yang seakan-akan image dari seorang santri sangatlah buruk. Padahal kalau kita kembali pada definisi santri yang telah disebutkan di atas, sungguh sangat mulialah seorang santri.
Sebenarnya memang santri adalah orang yang mulia, betapa tidak?  Setiap hari mereka selalu disuguhi pelajaran-pelajaran agama, disibukkan dengan aktifitas pondok yang positif, dan lain-lain. Oleh karena itu, beruntunglah mereka yang berkesempatan mencicipi indahnya dunia santri.
Kemuliaan santri juga pernah diucapkan secara tidak langsung oleh K.H Abdul Hamid Anas –pengasuh ponpes Falahiyah-Futuhiyah− pada saat siswa kelas XII Manu Putra sowan ke kediaman beliau untuk minta didoakan agar mereka diberikan kemudahan dan kelancaran serta kesuksesan dalam menghadapi Ujian Nasional. Ketika itu beliau menolak untuk mendoakan para siswa yang mayoritas santri tersebut, “Saya itu malu dengan kalian, sebenarnya doa kalianlah yang lebih diijabah daripada doa saya, karena kalian adalah santri” ujar beliau. Hal tersebut membuktikan bahwa begitu mulianya seorang santri.
Namun ironisnya, mengapa justru dalam kenyataanya kemuliaan santri tidak pernah dihiraukan, malah sebaliknya kerendahanlah yang ada dalam benak kita terhadap santri? Inilah, di saat zaman semakin modern, totalitas santri kian waktu kian menurun. Alat-alat canggih seakan mengajak kita untuk bermalas-malasan, tanpa terkecuali. Bahkan dunia Pesantren pun terkena imbas dari efek modernisasi tersebut.
Dahulu, santri begitu terkenal dengan kealimannya. Itu biasa, karena pada zaman dahulu hidup masih serba tradisional. Para santri masih mudah untuk menghafal pelajaran, nadzoman, kitab, dan lain-lain tanpa ada ‘amil nawasikh atau alat-alat canggih tadi, sehingga mereka mudah untuk hanya fokus kepada kehidupan di Pesantrennya saja. Oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang mengatakan bahwa santri zaman dahulu itu luar biasa. Tetapi lebih luar biasa lagi apabila santri zaman sekarang −di zaman modernisasi dengan serba-serbi kehidupannya hampir semuanya menggunakan teknologi− yang bisa tetap fokus dalam menjalani kehidupannya di Pesantren.
Setidaknya masih ada beberapa santri yang demikian, mereka masih bisa fokus walaupun keadaan sekeliling seakan mengajak kita untuk tetap bermain-main. Karena kini banyak pesantren yang menyadari kenegatifan dari teknologi, sehingga pihak pesantrenmelarang para santrinya untuk membawa alat-alat tersebut.
Sebenarnya tidak terlalu buruk juga –meskipun modernisasi berimbas pada dunia Pesantren− selagi santri masih di lingkungan Pesantren, karena setidaknya mereka masih terjaga dengan keamanan Pesantren. Dan memang setidaknya masih bisa kita rasakan hakikat santri yang sebenarnya ketika mereka berada di lingkungan Pesantren.
Tetapi totalitas santri bukan hanya di lingkup Pesantren saja. Justru totalitas santri akan terlihat apabila dia pulang, bahkan ketika mereka sudah boyong. Seorang santri yang sudah boyong tetapi jiwa santrinya masih merekat kuat pada dirinya itulah yang disebut santri dengan totalitas tinggi. Ia tidak pernah meninggalkan kebiasaan–kebiasan baiknya yang sering dilakukan ketika ia masih di Pesantren, senantiasa mengamalkan ilmu yang ia dapat sewaktu di Pesantren, akhlakulkarimah yang selalu menjadi pedoman, dan lain-lain.
K.H Ahmad Kaba’in, salah seorang alumni pondok Buntet Pesantren pernah menyinggung perihal tersebut. Beliau berkata bahwa kita yang sekarang sudah tidak mondok di Pesantren lagi adalah masih tetap santri, kita adalah santri “non-aktif” dari pondok Buntet Pesantren selama jiwa kita masih tetap santri. Mengapa disebut non-aktif? Karena sekarang kita sudah tidak lagi belajar di pondok Buntet Pesantren lagi, tetapi dalam diri kita masih meyakini betul bahwa kita adalah santri Buntet Pesantren. Begitulah kira-kira yang diucapkan beliau ketika memberi sambutan pada acara Masa Keakraban Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon Jakarta Raya (Makrab Forsila BPC) yang bertempat di Yayasan Pondok Pesantren Yatim Dhuafa, Bogor.
Jika kebiasan-kebiasan baik yang kita lakukan di Pesantren senantiasa kita amalkan di kehidupan sehari-hari kita di luar Pesantren, dan kita yakini bahwa kita masih tetap santri sampai kapan pun, maka semua itu akan menjadi tameng yang kokoh bagi diri dan hati kita terhadap tipu daya dunia yang fana ini.