Uncategorized

Mengenang Presiden Ke IV Republik Indonesia

Judul Buku
Mata Penakluk
Pengarang
Abdullah Wong
Penerbit
Expose (PT Mizan Publika)
Halaman
295 halaman
Edisi
I, Januari 2015
ISBN
978-602-7829-24-4
*Refleksi penurunan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, 23 Juli 2001-23 Juli 2015
Mukaddimah
Ketokohannya dalam berbagai bidang, diakui oleh lintas kalangan, menarik saya untuk mengenal lebih dalam sang Presiden Republik Indonesia keempat. Ialah Abdullah Wong yang mengenalkan saya lebih dekat dengan sosok humanis itu. Mata Penakluknya telah menaklukkan saya untuk menghabisinya sampai tuntas tanpa perlu ada yang ditinggal barang secuil pun.
Novel yang berjudul kecil Manaqib Abdurrahman Wahid ini semenjak kali pertama diluncurkan awal tahun ini, membuat saya mencari-carinya. Sampai pada akhirnya, saya menjumpainya di tumpukan buku pada pameran buku Islam (Islamic Book Fair) di Istora Senayan.
Gus Dur seolah tiada habisnya dibahas. Buku tentangnya masih bermunculan. Ada yang membahas pemikirannya mengenai demokrasi, pluralisme, humanisme, kepesantrenan, sampai pun pada buku tentang anekdot-anekdot yang dibuatnya.
Pembahasan
Mengawali novelnya, Abdullah Wong mengisahkan bagaimana Gus Dur lengser dari kursi presiden Republik Indonesia. Pada akhir bagian pertama ini, Abdullah Wong membuat tulisan pengakuan seorang Gus Dur yang tak lagi bisa melihat, Yes, I am blind… Sungguh saat membaca ini, mata saya dibuat mengalir begitu saja tanpa komando. Pilihan diksi yang tepat membuat perasaan pembaca terbawa suasana bacaan. Tatkala beliau diturunkan dari jabatannya tersebut, Gus Dur menerima tanpa menggugat. Hal ini pula yang diungkapkan putri beliau, Anita Wahid dalam buku Damai Bersama Gus Dur, bahwa Gus Dur berjuang untuk rakyat, bukan untuk jabatan.
Alur yang dibuat penulis tidak maju, tidak pula mundur. Hal ini menimbulkan rasa penasaran pembaca kisah apa yang akan diangkat selanjutnya dan apa kaitannya dengan kisah sebelumnya. Hal demikian juga membuat pembaca enggan untuk menghentikan aktifitasnya dalam membaca novel yang diberi judul kecil Manakib Abdurrahman Wahid itu. Manakib adalah istilah untuk biografi atau perjalanan hidup seseorang. Di kalangan pesantren, dikenal dengan manakib Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang biasa dibaca pada acara-acara tertentu. Kitab Al-Barzanji karangan Syaikh Jakfar al-Barzanji juga merupakan manakib, manakib Nabi Muhammad Saw. Rupanya Abdullah Wong tidak ingin menghilangkan ciri khas kepesantrenan dirinya maupun tokoh yang menjadi objek penulisannya, yakni Gus Dur. Baik Gus Dur maupun Abdullah Wong, keduanya merupakan santri asli didikan pesantren. Kalau Gus Dur pernah tinggal di pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh kakeknya, Hadrotussyaikh K.H. Hasyim Asyari, pesantren Krapyak asuhan K.H. Ali Maskhum, pesantren Tegalrejo K.H. Chudori, dan pesantren Tambak Beras di bawah asuhan Man Fattah. Rentetan kisah di pesantren yang menjadi tempat singgah Gus Dur ini diceritakan begitu apik. Penulis pun memiliki latar belakang yang sama, pesantren, sehingga kultur pesantren dalam novel tersebut begitu lekat. Dari sini, kita bisa tahu bagaimana kehidupan pesantren yang sesungguhnya. Namun, sedikit disayangkan, Abdullah Wong tidak begitu rinci mengisahkan studi Gus Dur di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak.
Berbeda dengan Abdullah Wong, Greg Barton lebih rinci menceritakan perjalanan studi Gus Dur ini ketika di Timur Tengah. Barton menceritakan bahwa Gus Dur tidak menyelesaikan studinya di Mesir karena pelajaran yang diterima di sana sudah ia pelajari semua ketika dia di pesantren. Rasanya hanya membuang waktu untuk kuliah di sana. Tetapi meskipun ia tidak kuliah, ia bekerja di kedutaan besar untuk menerjemahkan surat-surat yang datang dari Indonesia. Kekerabatannya dengan orang-orang kedutaan ini mengantarkan ia mendapat beasiswa di Universitas Baghdad. Di sinilah ia menemukan tempat belajar yang sesungguhnya. Meskipun begitu, ia tak pernah lupa akan hobinya, menonton film. Kesukaan menonton film dan membaca buku-buku sastra inilah yang mengantarkan ia pada tahun 1980-an menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta.
Masa kecil Gus Dur dihabiskan di ibukota bersama ayahnya yang saat itu menjadi salah satu orang penting di Indonesia. Selain beliau pernah menjabat sebagai ketua PBNU dan Menteri Agama, beliau juga salah satu perumus Piagam Jakarta. Ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk les privat bahasa Belanda di bawah bimbingan teman ayahnya yang orang Belanda asli, Willem Buhl.
Pada usia yang relatif muda, 39 tahun, ayah Gus Dur, K.H. Abdul Wahid Hasyim meninggal dunia karena kecelakaan. Saat itu, Kiai Wahid dan Pak Argo duduk di kursi belakang mobil sedan Chevrolet dan Gus Dur di depan bersama sopir. Baik Wong maupun Greg, keduanya sama-sama menjelaskan kronologi kecelakaan tersebut dengan sangat rinci. Namun, karena novel bersifat fiksi, sepertinya Wong menambahkan cerita agar lebih dramatis. Diceritakan dalam novelnya bahwa Gus Dur sedang membaca novel tentang anak yatim. Hal ini tidak diceritakan Greg dalam bukunya.
Dalam novel tersebut, diceritakan pula bagaimana pendekatan Gus Dur dengan Sinta Nuriyah yang setia menemani putri Man Fattah saat sedang belajar dengan Gus Dur. Istri Gus Dur adalah santri Man Fattah yang sangat dekat dengan Nafisah, putrinya. Kedekatannya dengan Nafisah membuat Gus Dur dan Nuriyah saling mengenal dan akhirnya menjadi sepasang suami istri.
Karena Gus Dur adalah orang Jawa, tepatnya Jawa Timur, maka unsur kejawaan dalam novel tersebut tidak bisa lepas, bahkan kental. Kata-kata berbahasa Jawa sengaja dimunculkan oleh penulis sebagai penanda lokalitas latar sehingga menimbulkan kesan mendalam.
Gus Dur sangat dikenal sebagai pribadi yang humoris. Siapapun bisa dibuatnya terpingkal-pingkal. Hal ini juga yang diangkat oleh Abdullah Wong dalam novelnya. Kejenakaan Gus Dur ditulis dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami sehingga pembaca tidak merasa bosan.
Judul-judul pada novel tersebut kesemuanya diawali dengan kata mata, Mata Istana, Mata Saksi, Mata Ayah, sampai pada Mata Sinta dan Mata Sepi. Hal ini membuat menarik pembaca. Sepanjang pengetahuan penulis juga, hal demikian merupakan hal baru dalam penulisan.
Abdullah Wong melalui karyanya mengenalkan sosok Gus Dur begitu dekat kepada pembaca. Dengan ke-aku-an (kata ganti kesatu) yang dimunculkan, kedekatan itu amat terasa dan seolah benar-benar muncul dari diri Gus Dur sendiri. Penggambaran suasana dan latar melalui pilihan kata yang tepat sangat membantu pembaca larut dalam tulisan yang dibuatnya sehingga tidak merasa bosan.
Gitu aja kok repot!. Begitulah Abdullah Wong mengakhiri novelnya. Kata-kata khas yang seringkali mengalir dari lisan Gus Dur ini menandakan ketulusan beliau dan sikap pasrahnya dalam bertindak. Tidak terlalu membebani pikirannya setiap apa yang menimpa dirinya.
Membaca Mata Penakluk membuat kita lebih dekat dengan seseorang yang begitu sederhana dan tradisionalis tapi dengan pikiran yang visioner dan jauh ke depan. Dia seorang kiai dari pesantren yang berhasil menjadi presiden Republik Indonesia dan membawa perubahan untuk bangsanya. Ia dicintai oleh bangsa, bukan karena ia mencintai bangsa tersebut dengan ketulusan.
Penutup
Memunculkan tokoh utama dengan kata ganti pertama membuat novel Mata Penakluk ini lebih dekat dengan pembaca, sentuhan tokoh utama lebih terasa. Deskripsi yang rinci membuat pembaca merasakan betul suasana yang digambarkan pengarang. Pribadi Gus Dur yang humoris pun dimunculkan oleh Abdullah Wong untuk lebih meyakinkan bahwa begitulah diri seorang presiden Republik Indonesia yang keempat itu. Selain itu, karena latar novel tersebut adalah Jawa, maka pengarang memunculkan beberapa ucapan bahasa Jawa dari beberapa tokoh agar tidak kehilangan unsur kedaerahannya. Kepesantrenan pun tak luput dari penulisan pengarang, bahkan hal ini sangatlah kental. Dari segi judul kecil dengan menggunakan bahasa manakibbukan biografi sudah sangat terasa unsur kepesantrenannya, Sayangnya, masih banyak cerita-cerita menarik yang belum termuat dalam novel tersebut.
Hal yang paling berkesan dari seorang Gus Dur adalah kegemarannya dalam membaca. Sejak kecil, ia telah membaca berbagai karya sastra dunia. Gus Dur kecil sudah bisa berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Ia membaca novel-novel Eropa, asli dengan bahasa mereka, bukan lagi terjemahannya. Sampai pun saat pengajian, ia masih suka mencuri-curi waktu untuk membaca novel hingga tersadar karena teguran kiainya. Saat sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa ayahandanya itu, ia duduk di samping sopir dengan membaca novel pemberian ayahnya. Dengan adanya bacaan, Gus Dur kecil lebih tenang.

Pribadinya yang humoris ini membuat masalah seperti tidak membebaninya. Hal ini yang rupanya jarang dimiliki banyak orang. Meski ia memiliki kekurangan fisik, yakni (maaf) tunanetra, tapi ia tak patah semangat untuk senantiasa berbakti kepada negeri dengan mencalonkan diri sebagai presiden. Meskipun ia relatif singkat menjadi presiden, kurang dari dua tahun karena digulingkan paksa oleh MPR RI terkait kasus Bulog-Gate dan Brunei Gate, Gus Dur tetap tenang dan tidak ada rasa ingin melawan atau berusaha mempertahankan kekuasaannya. Ia lebih memilih menerima penggulingan itu dan selesai sudah daripada ia mempertahankan kekuasaannya tetapi nanti akan terjadi pertumpahan darah. Bahkan di hari terakhirnya di istana, beliau keluar dengan celana pendek dengan kaos lengan pendek. Ini menunjukkan kesederhanaan beliau.