Hikmah Khutbah Nasehat Kyai

Khutbah ‘Idul Fitri oleh Ketua Umum Tanfidzyah PBNU

Bagi umat Islam yang sudah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, kesempatan berhari raya ‘Idul Fitri kemarin adalah saat-saat penting untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan. Dan suasana tersebut hingga saat ini tentu masih bisa kita rasakan. Kita bermohon pada Allah agar seluruh kesalahan yang pernah dilakukan selama satu tahun, dilebur di hari Lebaran ini, Minal a’idin wal-faizin, Taqabbalallaahu minna waminkum. Wakullun ‘aamin wa-antum bilkhair.

Meskipun secara bahasa tidak sesuai arti, tetapi ungkapan minal a’idin wal-faizin dalam masyarakat kita sering dimaknai ” Mohon maaf lahir dan batin “. Dan kedalaman maknanya insya Allah akan mewakili maksud dan tujuan masing-masing orang yang bersalaman atau bersilaturrahmi.

Hak Allah dan Makhluk-NYA
Dalam istilah agama, ada yang disebut haqqullah atau hak Allah dan ada yang disebut haqqul adami atau hak manusia. Dosa atau kesalahan manusia kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Salah satunya adalah menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebagai upaya penebusan dosa dan permohonan ampun kepada-Nya. Pada puncaknya adalah ber‘Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrah kita/ kepada kesucian, lahir dan bathin.
Kembali kepada fitrah atau kesucian disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah, yang disempurnakan dengan maaf dari sesama manusia. Kenapa harus manusia yang menyempurnakannya? Karena hal tersebut menyangkut haqqul adam atau hubungan antara manusia dengan manusia. Apakah manusia yang kita salami itu tidak atau akan memaafkan kita, itu adalah urusan dia dengan Allah.
Dalam kehidupan keseharian atau bermasyarakat, kita pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama. Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama jika kita tidak mau meminta maaf kepada yang bersangkutan. Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan Minal a’idin wal-faizin yang dimohonkan tegak lurus kepada Allah, dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang disampaikan kepada sesama manusia. Namun jika kita belum mendapatkan kesempatan bertemu atau bersalaman, maka hendaknya masing-masing tetap mendahulukan saling memaafkan dan meridhai kesalahan sesamanya.
Puasa Ramadlan Proses Menuju Kesucian
Mengambil hikmah tausiah dari KH. Said Aqil Siraj, dapat alfaqir sambungkan apa yang beliau sampaikan. Bahwa pada dasarnya hidup adalah merupakan suatu gerak, suatu aktivitas dalam mengisi waktu. Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka hidup kita telah dimulai. Bahwa, hidup manusia awalnya dimulai di alam kebahagiaan [paradiso]. Semua manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci. Namun kemudian, fitrah atau kejadian asal manusia bersentuhan secara fisik maupun mental dengan alam materi atau duniawi yang membuatnya tidak lagi bersih dan suci. Ditambah lagi manusia itu adalah makhluk yang lemah sehingga mudah terjerembab ke dalam kenikmatan duniawi yang semu atau fana. Semakin lama ia tenggelam dalam kemeriahan alam duniawi, maka semakin kotor pula alam ruhaninya. Jika tidak kuat iman, maka akan terjatuhlah manusia ke dalam alam kenistaan [inferno].
Untuk bisa kembali ke dalam alam kebahagiaan, maka manusia harus melalui proses penyucian diri di alam pembersihan [purgatorio]. Bagi umat Islam, alam pembersihan tidak lain adalah bulan suci Ramadhan, yakni bulan yang di dalamnya didatangkan rahmat, ampunan sekaligus sebagai pencegah agar manusia tidak selalu jatuh ke alam kenistaan. Dengan demikian umat Islam dapat masuk kembali masuk ke alam kebahagiaan, yakni alam kesucian yang dilambangkan dengan adanya ‘Idul Fitri.
Sebenarnya, lambang-lambang dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiannya tidak sulit juga ditemukan dalam aktivitas di hari raya ‘Idul Fitri. Kita melihat misalnya orang-orang selalu menyempatkan diri untuk mudik [pulang kampung]. Mereka rela berjejal di kereta ataupun bus, bahkan bersepeda motor dengan puluhan resiko buruk yang bisa saja ditemui selama dalam perjalanannya. Masih menurut KH. Said Aqil, inilah yang disebut mudik lebaran yang sebenarnya yakni “kembali ke asal” ke kampung halaman atau “kembali ke fitrah” dalam suasana ‘Idzul fitri.

Apa yang akan mereka lakukan di kampung halaman hendaknya bukan untuk pamer keberhasilan selama hidup di perantauan. Tetapi harusnya didorong oleh kecenderungan spiritualnya, yaitu hasrat jasmani dan ruhani untuk berkumpul dengan sanak saudara sekaligus untuk saling memaafkan.

Mudah Memaafkan Ciri Orang Islam Berkualitas
Memaafkan adalah pekerjaan yang mudah tapi menyusahkan. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika dia menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan itu. Jika orang tidak mau memaafkan saudaranya yang dengan rela meminta maaf padanya, maka artinya dia masih menyimpan dendam.
الذين يُنفقون في السَّــرّاء والضَّــرّاء والكاظمــين الغيظَ والعافــين عن النـاس’ واللـه يحــب المحــسنين. ال عمران :135
“ [yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. “
Selanjutnya dalam surat Al-Hijr ayat 47 Allah berfirman :
ونَزَعْنـا ما في صدورهم من غِـلّ اخوانـا على سُـرُر متقــبلين
“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.“

Jelas, memaafkan adalah merupakan kualitas dan tingkatan moral atau akhlak seseorang. Kalau kita memaafkan kesalahan orang lain berarti kita telah menghapus dosa orang itu dan rasa marah kita sendiri. Sebab, keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan dan kerelaan. Lalu mampukah kita meletakkan makna ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” di suasana Lebaran ini dalam kerangka seperti itu? Tanpa syarat dan hanya dalam rangka memupuk persaudaraan dan perdamaian yang lebih Islami?

وعن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ولا تحاسدوا وكونوا عباد الله إخوانا ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث متفق عليه
(1599) Dari Anas Radhiyallahu Anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian saling memutuskan tali persaudaraan, saling membelakangi, saling membenci dan janganlah saling menghasud. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidaklah halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Mudah-mudahan melalui Hari Raya ‘Idul Fitri kali ini kita bisa memetik hikmah yang akan terus diterapkan dalam kehidupan nyata minimal setahun ke depan, agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai umat Islam, bahkan dengan umat non Islam lainnya, di mana pun dan hingga kapan pun.
Disadur dari isi Khutbah ‘Idzul Fitri oleh Ketua PBNU Pusat KH. Said Aqil