Suara ‘Ting-ting’ yang Dirindukan di Tunisia
Mba Fela (kiri) dan Mba Ica (kanan) di Tunisia |
Suara ‘ting-ting’ kerap kali berdenting di telinga masyarakat Buntet Pesantren selepas shalat tarawih. Meski saat berbuka telah makan nasi, suara yang dihasilkan dari benturan sendok dan mangkok itu selalu menggoda siapa saja yang merasa belum puas dengan menu berbuka.
Arina Falabiba dan Aisyah Nurhayati Kriyani adalah dua di antaranya yang merindukan suara tersebut. Jangankan menikmati makanan yang terhidang dalam mangkok itu, suara ‘ting-ting’nya saja tak dapat mereka resapi sepenuh hati. Sebab, Tunisia tak sama dengan Buntet Pesantren.
“Sesungguhnya kami sangat merindukan ‘ting-ting’ penjual makanan keliling sehabis tarawih,” kata dua pelajar Universitas Zitouna itu kepada Media Buntet Pesantren, Sabtu (26/5).
Mba Fela, sapaan akrab Arina Falabiba, dan Mba Ica, sapaan Aisyah Nurhayati Kriyani, mengatakan lebih syahdu Ramadhan di Indonesia. “Ramadhan di Indonesia tentu jauh lebih syahdu,” kata dua warga Buntet Pesantren itu.
Puasa di negeri Ibnu Khaldun itu, katanya, menghabiskan waktu kira-kira 16 jam, yakni sejak jam 3.20 sampai 19.28. Parahnya, puasa itu dilakukan di musim panas yang suhunya melewati 30 derajat celsius. Meski tidak separah tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 40 derajat.
“Sebab, puasa jatuh di musim panas maka bulan puasa jadi terasa lebih panjang,” jelas perempuan yang juga berdarah Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, itu.
Lebih lanjut, Mba Fela menceritakan bahwa khalawiyat, kurma, susu, citrun, ‘asir (jus buah) menjadi menu takjil masyarakat Tunis. Lalu, makanan pokok seperti bagette, syurbah (sup gandum), brik (seperti risol, di Indonesia, di dalamnya ada kentang, keju, gouta) dinikmati setelahnya.
Lain dengan orang Indonesia. Mba Fela dan Mba Ica lebih kerap memilih manyantap nasi dan lauk pauk khas Indonesia sebagai menu berbuka mereka. Meskipun dengan keterbatasan bumbu dan sayur-mayur.
Di Tunis, Mba Ica dan Mba Fela tak biasa ngadang surup. Sebab, tempat umum di sana pun tutup menjelang Maghrib, dari toko hingga supermarket. Senja menjadi sepi seakan tak ada kehidupan di jalanan. Masyarakat Tunis lebih suka berbuka di dalam rumah.
“Dan di sini justru suasana menjadi hening dan sepi. Gak ada satu orang pun berkeliaran di jalan. Toko-toko tutup, supermarket dan semua aktifitas di luar rumah terhenti,” kata Mba Fela.
Meskipun demikian, suasana itu akan berbalik saat malam hari di paruh kedua bulan Ramadhan. Mereka, kata perempuan yang pernah mondok di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta itu, mulai melakukan aktifitasnya lagi menjelang shalat Isya.
Sekitar pukul 21.00 sampai menjelang sahur, pasar tradisional akan sangat ramai, katanya. Aneka hiasan dan oleh-oleh khas Tunis diperjualbelikan di sana. Menurut Mba Fela, aktifitas malam di bulan Ramadhan sudah biasa dan lumrah bagi mereka.
“Itu sangat lumrah di kalangan masyarakat tunis jika masih ada aktifitas jual beli sampai larut malam hari di bulan Ramadhan,” ucapnya.
Berkah Malam Ke-27 Ramadhan
Negara yang dipandang bisa lolos dari cengkeraman Arab Springitu meyakini malam ke-27 Ramadhan sebagai malam lailatul qadar. Tak ayal, masyarakat muslim Tunisia menyambutnya antusias. Mereka berduyun-duyun mendatangi masjid guna iktikaf dan menjalankan shalat tarawih 23 rakaat disertai witirnya.
“Malam itu, masjid-masjid besar penuh orang yang shalat tarawih,” tutur Mba Fela.
Makanan khas Tunis Kuskus pun menjadi hal yang tak terlewat dari malam istimewa tersebut. Makanan yang terbuat dari gandum semolina itu biasa disajikan saat hari khusus dan besar. Mba Fela dan Mba Ica pun kecipratan berkahnya.
“Dibagikan kepada kami orang Indonesia yang tinggal atau kos di rumah orang Tunis,” ujarnya.
Malam ke-27 itu berbanding terbalik dengan awal Ramadhan. Tunis tidak memiliki tradisi penyambutan kedatangan bulan suci itu. “Tidak ada tradisi. Sama seperti hari-hari biasa,” pungkas Mba Fela.
(Syakir NF)