Berkangen-kangenan dengan Hadrotus Syaikh
Ungkapan saya “berkangen-kangenan” mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner, karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak menangi (red. pernah bertemu.) tokoh yang saya kangeni itu.
Dari apa yang saya dengar tentang Hadratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai bapak NU ini sehingga seolah-olah saya menangi beiau.
Hadratussyaikh Kyai Muhammad Hasyim bin Kyai Asy’ari
Dan ketika saya, baru-baru ini dihadiahi oleh Kyai Muchit Muzadi copy kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul “Al ‘Allamah Muhammada Hasyim Asy’ari Waadli’u Labinati Istiqlaalli Indonesia” (Maha Kyai Muhammad Hasyim Asy’ari peletak batu pertama kemerdekaan Indonesia) dan dua khutbah Hadratussyeikh, kangen saya pun kian menjadi-jadi.
Keiginan untuk melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tidak bisa saya empet (red. tahan). Tiba-tiba saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu Halaqoh raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang hadir, niscaya saya tak akan tahan duduk di majelis ini.
Mereka yang duduk berhalaqoh dengan anggun di sekeliling saya tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya. Begitu banyak wajah ratusan atau bahkan ribuan memancarkan cahaya, menyinari majelis, ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namanya pun tidak saya ketahui. “Itu tentu kyai Abdul Wahab Hasbullah!”
Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga. Duduk disampingnya Kyai Bishri Syansuri, Kyai Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Ridwan Semarang, Kyai Maksum Lasem, Kyai Nahrowi Malang, Kyai Ndoro Munthah Bangkalan, Kyai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kyai Abdul Halim Majalengka (salah seorang perintis PUI), Kyai Ridwan Abdullah, Kyai Mas Alwi Abdul Azis, dan Kyai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torpus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang di sampingnya itu Syeikh Abdul ‘Alim Ash-Shiddiqi. Oh, itu Kyai Saleh Darat, Kyai Subki Parakan, Kyai Abbas Abdul Jamil Buntet, Kyai Ma’ruf Kediri, Kyai Baidlowi lasem, Kyai Dalhar Magelang, Kyai Amir Pekalongan, Kyai Mandur Temanggung!” kembali batinku memekik.
Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kyai Abdul Wahid Hasyim dan Kyai Mahfudz Shiddiq, Kyai Dahlan dan Kyai Ilyas.
Saya melihat juga Kyai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi Bogor, Kyai Djunaidi dan Kyai Marzuki Jakarta, Kyai Raden Adnan dan Kyai Masyud Sala, Kyai Mustain Tuban, Kyai Hambali dan Kyai Abdul Jalil Kudus, Kyai Yasin Banten, Kyai Manab Kediri, Kyai Munawir Jogja, Kyai Dimyati Termas, Kyai Cholil Lasem, Kyai Cholil Rembang, Kyai Saleh Tayu, Kyai Machfud Sedan, Kyai Zuhdi Pekalongan, Kyai Maksum Seblak, Kyai Abu Bakar Palembang, Kyai Dimyati Pemalang, Kyai Faqihuddin Sekar Putih, Kyai Abdul Latif Cibeber, Haji Hasan Gipo,Haji Mochtar Banyumas, Kyai Said, dan Kyai Anwar Surabaya, Kyai Muhammadun Pondohan, Kyai Sirajd Payaman, Kyai Chudlori Tegalrejo, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kyai Machrus Ali Lirboyo, kyai, kyai . . . Di tengah-tengah lautan kyai dan tokoh-tokoh NU itu, Hadlratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajah teduh yang senantiasa tersenyum.
Namun, betapapun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan setelah berhasil mengalahkan rasa rendah diri yang luar biasa adalah, “Hadratussyeikh saya melihat Hadratusyeikh dan sekalian masyayikh yang berada di sini begitu murung. Bahkan di kedua mata Hadratussyekh yang teduh, saya melihat air mata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadatussyeikh dan sekian masyayikh berprihatin? Apakah gerangan yang diprihatinkan?”
Hampir serentak, Hadratussyeikh dan sekian masyayikh tersenyum. Senyum yang sulit saya ketahui maknanya. Tampaknya Kyai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadratussyeikh memberi isyarat dengan lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung dari segala jurusan. Baru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas.
“Cucuku, kau benar. Kami semua disini, Alhamdulillah hidup dalam keadan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tidak kurang suatu apa. Kalau ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam’iyyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam’iyyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Akan semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggalkan bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas, dan tuntunan yang gamblang.”
“Jam’iyyah dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dan pengikutnya, tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengajarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara, dan umat manusia.”
“Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khittah kami telah berhasil dirumuskan dengan jelas dan rinci sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya.
Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga jam’iyyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain, saing bertengkar dan saling mencerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaf), saling ungkur-ngkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu’). Padahal mereka, satu dengan yang lain bersaudara. Sebangsa. Setanah air. Se-agama. Se-ahlusunah wal jama’ah. Se-jam’iyyah.”
“Laa haula wala quwwata illa billah …”, gumam semua yang hadirin serempak, membuat tunduk saya semakin dalam.
Saya merasakan berpasang-pasang mata menghujam ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadratussyeikh melanjutkan masih dengan nada yang lembut, penuh kebapakan.
“Yang sedang bertikai itu sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mampertahankan prinsip Islam apa? Sehingga begitu ringan mengorbankan prinsip persaudaraan yang agung?”
“Sejak awal saya kan sudah memperingatkan, baik dalam muqoddimah Al-Qonuun Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bias dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimanapun beratnya Insya Allah akan dapat diatasi.”
“Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tetapi tabaahguudl, tahaaasud, tadaabur, dan taqoothu’ apapun alasannya hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita.” “Kalau di dalam organisasi, tabaahguudl, tahaaasud, tadaabur, dan taqoothu’ itu merupakan malapetaka. Maka apapula itu namanya jika terjadi dalam tubuh organisasi ulama’ dan para pengikutnya?”
Hadratussyekh menarik nafas panjang, diikuti serentak oleh ribuan gunung kyai. Suatu tarikan nafas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada keluhan, “Laa haula walaa quwwata illa billah …” Saya sedang menggumpulkan kebenaran untuk mengatakan kepada Hadratussyeikh bahwa warga jam’iyyah baik-baik saja kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar, kini sudah membaik tak perlu ada yang perlu diprihatinkan ketika beliau berkata, “Engkau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semuanya. Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh Kami. Namun yang tampak itu sudah membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang dilakukan oleh jam’iyyah ini sebanding dengan kebesarannya.”
“Lalu apa nasehat Hadratussyeikh?” pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari.
“Nasehatku, lebih mendekatlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat dan khittah jam’iyyah. Pahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Waspadalah terhadap provokasi kepentingan sesaat! Itu saja.”
Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadaratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga.
“Dan belajarlah berbeda pendapat!” seru sebuah suara yang ternyata adalah suara Kyai Abdul Wahid Hasyim. Berbeda pendapat dengan saudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara.”
Sekali lagi semuanya mengangguk-angguk lembut. Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu. Ingin lebih banyak lagi nasehat. Tapi yang saya dengar kemuadian adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca dengan khusyu’ oleh –masya Allah– Kyai Abdul Wahab Hasbullah. “Washbir nafsaka ma’alladziina yad’uuna Robbahum bil ghodaati wal ‘asyiyi yuriiduuna wajhahu walaa ta’du ‘ainaka ‘anhum turiidu ziinatal hayaatid-dunya wala tuthi’ man aghfalnaa qolbahu ‘an dzikriNaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuuthaa.”
Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridloan-Nya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadannya melampaui batas. Dan dengan berakhirnya bacaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhya serasa hendak mengoyak langit.
oleh KH. A. Musthofa Bisri bin KH. Bishri Mushtofa bin KH. Mushtofa
(dengan perubahan seperlunya)