Masuk Surga Berkat Ilmu Nahwu
Sumber: Belajar Nahwu Shorof |
Oleh: Muhammad Fayad Hazami
Buntet Pesantren kembali berduka. Salah satu kiai yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk pondok Buntet Pesantren, KH Tobroni Mutaad, telah berpulang untuk selama-lamanya ke sisi Yang Maha Kuasa.
Dalam kesehariannya, disamping mengajar ngaji tiap malam di kediamannya, beliau juga tak pernah lelah untuk mengisi jadwal mengajarnya di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra dan MANU Putri Buntet Pesantren. Tak lupa, beliau memiliki jadwal sebagai khatib dan imam Jum’at di Masjid Agung Buntet Pesantren.
Kiai kharismatik ini pun dikenal dengan kepiawaiannya di bidang ilmu fiqih dan nahwu. Melalui kitab karangannya, Diktat Nahwiyah, beliau menjadi satu di antara sedikit kiai di Buntet yang fokus hanya mengajarkan fan ilmu tersebut. Ya, beliau hampir tidak membuka pengajian yang lain selain nahwu dan fiqih. Hal ini bukan berarti beliau tak mampu, melainkan fokus ke bidang yang beliau geluti.
Berbicara mengenai ilmu Nahwu, banyak kalangan yang cenderung menyepelekan disiplin ilmu yang satu ini. Fokusnya untuk membahas gramatikal bahasa Arab dan seakan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kehidupan beragama maupun hukum syariat, mungkin yang membuat anggapan tersebut terbentuk. Memang demikian, sebagaimana dikatakan dalam kitab Ta’lim al-muta’allim,
وقد حكي عن الشافعي رحمه الله أنه قال العلم علمان علم الفقه للأديان وعلم الطب للأبدان
Artinya, “Dikisahkan dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, ‘Pada dasarnya ilmu itu ada dua, ilmu Fiqh untuk memahami agama, dan ilmu Farmasi untuk meneliti kesehatan badan’.”
Namun peran ilmu Nahwu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Secara konsep ilmu pengetahuan dalam Islam, ilmu Nahwu digolongkan dalam kelompok ilmu alat, yaitu ilmu yang dipelajari sebagai perantara (alat) untuk memahami ilmu utamanya, yaitu memahami kandungan Al-Qur’an dan Hadis. Karena seluruh pengetahuan Islam semuanya terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan keduanya menggunakan bahasa Arab, maka untuk bisa mendalaminya seseorang diharuskan untuk menguasai bahasa Arab beserta tatanan dan sastranya secara rinci. Dan itu bisa dicapai hanya dengan mempelajari ilmu Nahwu terlebih dahulu.
Sedemikian vitalnya peran ilmu Nahwu dalam khazanah ilmu Islam, bahkan terkadang membuat ilmu ini menembus batas ruang sebuah ilmu gramatikal. Banyak penelitian yang membuktikan besarnya kaitan penjelasan dalam ilmu nahwu dengan ilmu tasawuf. Para pakarnya yang sering disejajarkan dengan ulama tafsir maupun fiqh, hingga kisah seorang ulama yang masuk surga berkat kepiawaiannya di bidang nahwu mempertegas hal itu.
Poin terakhir yang disebutkan itu dialami oleh seorang ulama asal Persia yang sering dijuluki sebagai ‘bapaknya nahwu’, dialah Imam Sibawaih. Dikisahkan, beliau masuk surga berkat pendapatnya yang mengatakan bahwa isim yang paling ma’rifat adalah lafal Jalalah (Allah), dan bukannya isim dlomir (kata ganti) sebagaimana dikemukakan oleh mayoritas ulama nahwu lainnya.
Di dalam kitab Al-Kawakib al-Durriyah Syarh Mutammimahdijelaskan,
وفي إعراب القرأن للشهاب الحلبي أن سيبويه رؤي في المنام فقيل له ما فعل الله بك؟ فقال أدخلني الجنة فقيل بما ذا؟ فقال بقولي إن اسمه تعالى أعرف المعارف
Artinya, “Dalam kitab I’robul Quran karangan imam Syihab al Halaby dikisahkan bahwa (setelah kematiannya) imam Sibawaih pernah dimimpikan oleh seseorang. Lalu orang tersebut bertanya, ‘Apa yang Allah lakukan terhadap engkau, wahai imam Sibawaih?’. Imam Sibawaih menjawab, ‘Allah memasukkanku kedalam surga’. Orang itupun kembali bertanya, ‘Atas dasar apa?’. Dan dijawab oleh beliau, ‘Berkat pemikiranku yang berpendapat bahwa lafadz Allah merupakan isim yang paling ma’rifat’.”
Demikian salah satu kisah yang dapat membuat kita setidaknya lebih ‘melek’ bahwa ilmu Nahwu bukanlah sekedar ilmu gramatikal bahasa Arab. Lebih dari itu, ilmu ini bisa membuat para ahlinya memiliki derajat luhur di sisi Allah. Mari kita doakan semua yang terbaik untuk para ulama, tak terkecuali, kiai Tobroni Muta’ad, atas dedikasinya yang telah mengembangkan dan menyebarkan ilmu alat satu ini di Buntet Pesantren. Lahul fatihah.
Penulis adalah warga Buntet Pesantren