Sekelumit Seputar Basmalah
Kata “basmalah (بَسْمَلَة)” merupakan mashdar dari (بَسْمَلَ–يُبَسْمِلُ) yang artinya mengucapkan atau menulis “Bismillahirrahmanirrahim”. Dikatakan dalam sebuah sya’ir:
لَقَدْ بَسْمَلَتْ لَيْلى غَداةَ لَقِيتُها # فَيَا حَبَّذا ذَاكَ الحَبِيبُ الـمُبَسْمَلُ
Artinya: “Sungguh Laila mengucapkan bismillahirrahmanirrahimpada pagi hari di mana aku menemuinya. Wahai alangkah senangnya sang kekasih yang diucapkan basmalah itu.”
Diriwayatkan dari Al-Farra’ (w. 207 H), seorang ulama pakar Nahwu dan bahasa Arab, bahwa ia berkata: “kami tidak mendengar ada isim yang dibentuk dari fi’il, kecuali beberapa kata ini, yaitu basmalah, hamdalah, sabhalah, hailalah dan hauqalah”. Yang di maksud beliau dengan basmalah adalah ucapan “بِسْمِ اللهِ”, hamdalah adalah ucapan “الْحَمْدُ لِلَّهِ”, sabhalah adalah ucapan “سُبْحَانَ اللهِ”, hailalah adalah ucapan “لَا إلَهَ إلَّا اللهُ”, dan hauqalah adalah ucapan “لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاللهِ”.
Ada juga kata yang semisal ini, seperti hasbalah yakni ucapan “حَسْبُنَا اللهُ” dan hai’alah yakni ucapan “حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ”.
Para ulama akan mengawali tulisannya dengan basmalah karena mengikuti tulisan Allah dalam Lauh Mahfuzhatau kalam-Nya di dalam mushaf yang mengawalinya dengan basmalah. Selain itu, karena melaksanakan perintah dalam sebuah riwayat hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ أوَّلَ مَا كَتَبَهُ القلَمُ بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيمِ، فَإذا كَتَبْتُمْ كِتابًا فَاكْتُبُوهَا أَوَّلَهُ، وَهِيَ مِفتاحُ كُلِّ كِتابٍ أُنْزِلَ.
Artinya: “Sesungguhnya awal sesuatu yang ditulis al-qalam (pena) adalah bismillahirrahmanirrahim. Maka apabila kalian menulis tulisan tulislah basmalah pada permulaannya karena ia adalah kunci semua kitab yang diturunkan.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبَسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَقْطَعُ.
Artinya: “Setiap urusan penting yang di dalamnya tidak diawali dengan bismillahirrahmanirrahim maka ia terputus keberkahannya.”
Abu Dawud, Ibn Majah dan An-Nasa’i menggunakan redaksi “بِالْحَمْدُ لِلَّهِ” sebagai ganti “بِبَسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ”. Tidak ada kontradiksi dalam perbedaan riwayat hadis ini, karena basmalah adalah permulaan yang hakiki sedangkan hamdalah adalah permulaan idhafi (disandarkan), sehingga keduanya bisa diamalkan. Sementara redaksi dari Ad-Daraquthni adalah “بِذِكْرِ اللَّهِ”.
Berdasarkan hadis ini, maka hukum membaca basmalah untuk sesuatu yang dianggap penting atau serius secara syari’at adalah sunnah. Membacanya untuk sesuatu yang haram pada zatnya, seperti minum khamr, adalah haram. Membacanya untuk sesuatu yang makruh pada zatnya adalah makruh. Jika sesuatu itu haram bukan pada zatnya namun karena faktor lain, maka tidak haram, seperti berwudhu menggunakan air hasil ghashab. Membacanya di dalam shalat ketika membaca Al-Fatihah adalah wajib. Dengan demikian berlaku 4 hukum yang berbeda-beda dalam membaca basmalah. Masih tersisa satu hukum lainnya, yaitu mubah. Dikatakan bahwa membaca basmalah hukumnya mubah untuk segala perbuatan yang mubah yang tidak ada kemuliaan di dalamnya, seperti memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ada tiga pendapat ulama mengenai basmalah apakah termasuk ke dalam ayat dari Surat Al-Fatihah. Pendapat pertama mengatakan bahwa basmalah bukan termasuk ayat dari Al-Fatihah atau Surat-Surat lainnya. Ini merupakan pendapatnya Malik bin Anas. Pari Qari’ Madinah, Bashrah dan Syam meyakini pendapat ini. Basmalah yang terdapat pada awal setiap Surat ditulis sebagai pemisah antar Surat dan karena tujuan mencari keberkahan. Pendapat kedua mengatakan bahwa basmalah adalah ayat dari semua Surat. Ini adalah pendapatnya Abdullah bin Mubarak. Para Qari’ Mekkah dan Kufah mengikuti pendapat ini. Pendapat ketiga adalah pendapatnya Asy-Syafiʻi. Beliau mengatakan bahwa basmalahadalah ayat dari Surat Al-Fatihah. Sedangkan untuk Surat-Surat lainnya beliau ragu-ragu apakah basmalah termasuk ayat atau bukan. Adapun basmalah dalam Surat An-Naml, semua ulama menyepakatinya bahwa ia adalah bagian dari ayat, yaitu firman Allah SWT:
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (النمل: ۳٠)
Artinya: Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. AN-Naml: 30)
Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa para ulama mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang menulis bismillahirrahmanirrahim sebelum Nabi Sulaiman a.s.
Adapun tidak terdapatnya basmalah pada awal Surat At-Taubah (Bara’ah) adalah sebagaimana disebutkan Al-Hakim (w. 405 H) dalam Al-Mustadrak, bahwa Abdulah bin Abbas bertanya kepada Usman bin Affan mengapa Surat Al-Anfal diletakkan bersamaan dengan Surat At-Taubah. Padahal jumlah ayat Al-Anfal di bawah 100 ayat, dan At-Taubah lebih dari 100 ayat. Lalu mengapa tidak ditulis basmalahdi sana. Usman menjawab bahwa Al-Anfal adalah termasuk Surat yang pertama turun di Madinah, sedangkan At-Taubah termasuk yang terakhir. Kisah di dalam At-Taubah serupa dengan kisah di dalam Al-Anfal, sehingga beliau menduga bahwa At-Taubah termasuk ke dalam Al-Anfal. Rasulullah SAW wafat dalam keadaan belum menjelaskan mengenai ini, maka beliau tidak menulis basmalah di antara keduanya.
Riwayat lainnya dari Ibn Abbas bahwa beliau bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, mengapa basmalahtidak ditulis di dalam At-Taubah? Ali menjawab bahwa basmalah merupakan ketenteraman dan pembebasan dari kekafiran. Sedangkan Surat At-Taubah turun sebab peperangan di mana tidak ada ketenteraman di dalamnya.
Hamzah washal pada tulisan “بِسْمِ الله” dibuang karena berulangnya lafazh basmalahdalam setiap Surat Al-Qur’an bahkan dalam setiap tulisan. Setidaknya ada dua syarat yang disepakati ulama dalam hal pembuangan hamzah washal ini. Yang pertama, muta’alliq-nya tidak disebutkan. Jika muta’alliq-nya disebutkan, maka hamzah harus ditulis. Contohnya: إِبْتَدَأْتُ بِاسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (aku memulai dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Yang kedua, kata “اِسمٌ” disandarkan kepada lafzh Jalalah. Jika “اِسمٌ” disandarkan kepada selainnya, maka hamzahnya tertulis. Misalnya: اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. BasmalahSurat Al-Fatihah atau Surat-Surat lainnnya telah memenuhi kedua syarat ini. Ada syarat lainnya yang diperselisihkan ulama mengenai penulisan hamzah washal ini, yaitu apakah basmalah harus ditulis secara lengkap atau tidak. Menurut ulama yang menyaratkannya, jika menulis basmalah tidak secara lengkap, maka hamzah harus ditulis, misalnya: بِاسْمِ الله, tanpa disertai “الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ”. Namun menurut ulama yang tidak menyaratkannya, mereka berdalil dengan firman Allah:
بِسْمِ اللَّهِ مَجْرٰىهَا وَمُرْسٰهَا (هود: ٤١)
Secara ilmu Nahwu, kata “الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ” bisa dibaca menjadi 9 macam bacaan. Tujuh di antaranya benar secara Nahwu, sedangkan dua lainnya tidak dibenarkan. Ketujuh bacaan tersebut adalah:
1. الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. Keduanya dibaca jar dengan kasrah karena menjadi na’at. Bacaan ini yang wajib dibaca dalam qira’ah Al-Qur’an.
2. الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. Keduanya dibaca rafa’ dengan dhammah.
3. الرَّحْمنَ الرَّحِيمَ. Keduanya dibaca nashab dengan fathah.
4. الرَّحْمنُ الرَّحِيمَ. Yang pertama rofa’, yang kedua nashab.
5. الرَّحْمنَ الرَّحِيمُ. Sebaliknya nomor 4.
6. الرَّحْمنِ الرَّحِيمُ. Yang pertama jar, yang kedua rofa’.
7. الرَّحْمنِ الرَّحِيمَ. Yang pertama jar, yang kedua nashab.
Sedangkan dua bacaan yang tidak dibenarkan adalah “الرَّحْمنُ الرَّحِيمِ” dan “الرَّحْمنَ الرَّحِيمِ”. Namun Syaikh Ibrahim Al-Baijuri (w. 1277 H) memperbolehkan kedua bacaan ini.
Basmalah memiliki nilai yang agung. Diriwayatkan bahwa basmalah merupakan induk dari Al-Qur’an. Basmalah juga Ats-Tsab’ul Matsani. Dinamakan demikian karena ia mencakup makna Al-Fatihah. Keistimewaan lainnya dari basmalah adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Mas’ud: “Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari Malaikat Zabaniyah yang berjumlah 19, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, supaya Allah menjadikan satu huruf darinya sebagai perisai dari satu Zabaniyah.” Hal ini karena jumlah huruf basmalah adalah 19 sebagaimana jumlah Malaikat Zabaniyah.
واللهُ أعلَمُ
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor