Kyai Buntet Tokoh

Sosok Tawadlu Itu Pulang

Mbah Din saat pemberian beasiswa santri pada Haul 2017

Tidak. Tidak ada yang mengingkari ketawadluan KH Nahduddin Royandi Abbas. Semua status di beranda media sosial penulis yang mengisahkan kesannya masing-masing berisi hal yang sama, bahwa kiai yang akrab disapa Mbah Din itu adalah sosok tawadlu.

Di setiap momen, kiai kelahir 1933 itu selalu mengingatkan tawadlu. Hal ini beliau sampaikan kepada siapapun, termasuk kepada para kiai.

Tentu tawadlu itu tidak saja lahir dari lisannya yang lembut namun tegas itu. Tetapi juga mewujud dalam lakunya.

Pertama, kiai dengan putra semata wayang ini selalu menggunakan bahasa Jawa krama inggil ketika berbicara dengan orang yang lebih sepuh darinya. Meskipun beliau lama tinggal di London, tetapi bahasa daerah dan bahasa nasionalnya tidak hilang sedikit pun dengan logat yang khas. Walaupun beliau lebih dari setengah hidupnya dihabiskan di negeri Elizabeth itu, beliau tidak keminggris macam anak-anak jaman nowyang tidak cetha berbahasa Inggrisnya.

“Sama sekali tidak, beliau menggunakan bahasa jawa kromo dengan lancar tanpa satupun kata terlupa lalu menggunakan bahasa Indonesia saat bicara dengan Kakaknya, KH. Abdullah Abbas,” tulis Mamay Mujahid, salah satu cucunya, melalui akun Facebooknya pada Kamis (26/4/2018).

Kedua, kiai yang pernah mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri ini tak sungkan makan bersama satu meja dengan tamu-tamunya. Siapapun tamunya, beliau perlakukan sama. penulis sendiri selalu mengalami hal ini tiap kali sowan. Bahkan saat meminta diri untuk duduk terpisah, beliau mencegahnya agar tetap di sampingnya.

Ketiga, kiai yang mengembara ke Tanah Haramain sejak usia belasan tahun itu tinggal di rumah sederhana, baik di Inggris ataupun di Pondok Buntet Pesantren. Tidak ada kesan mewah sama sekali. Ndalemnya di Inggris dijelaskan oleh KH Nurul Huda Haem, pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia yang pernah diundang ceramah oleh masyarakat Indonesia yang ada di sana. Ndalemnya di Buntet Pesantren sebagaimana rumah pusaka, tak pernah dipugar. Rumahnya merupakan peninggalan dari Kiai Abbas, dari Kiai Abdul Jamil. Bahkan menurut keterangan KH Abdul Hamid Anas, adik sepupu Mbah Din, tanah yang kini berdiri rumah tersebut merupakan petilasan Kanjeng Sunan Gunung Jati.

Keempat, beliau enggan menduduki posisi kakaknya jika masih ada yang lain. Ia merasa tidak pantas dengan kedudukannya itu sebagai seorang sesepuh, pengasuh sebuah pondok pesantren tertua. Hal ini diungkapkan oleh Kiai Enha melalui tulisannya di Facebook, “Seandainya masih ada yang lain, saya tak mau menduduki posisi kakak saya di pesantren ini,” katanya merendah.

Penulis meyakini bahwa beliau hanya pulang memenuhi panggilan kekasihnya, Allah swt. Katanya, di hari-hari menjelang kepulangannya itu juga, ayahandanya, kakak-kakaknya, dan kerabatnya yang lebih dulu telah berkali mengunjunginya, mengajaknya untuk melihat hamparan keindahan yang kekal itu.

Mbah, Al-Fatihah untukmu, seraya berharap berkahnya tumpah melumuri tubuh daif ini agar debu-debu yang hinggap lekas lenyap.

Syakir NF