Sejarah Tokoh

Jika Allah yang Melempar, Hancur Bli Wurung


Sumber : Berbagaireviews.com


Pertempuran melawan Belanda dilakukan tanpa rasa takut. Para pejuang Indonesia sudah siap dengan kematian yang ada di depan mata. Di Desa Bedeng, Kaliwedi (Cirebon perbatasan Indramayu) tepat pada malam Hari Raya Idulfitri, KH Abdul Mufti Umar bergerak.
Ia terus maju memasuki daerah Jambe, Indramayu. Lalu, hari berikutnya, di Segeran, Indramayu ia bertempur. Di situ, sisa pasukan 11 yang masih sempurna, enam luka-luka, dan 13 lainnya meninggal.
Kiai Uti, panggilan akrab masyarakat kepada KH Abdul Mufti Umar, kehabisan peluru. Tetapi “Mata nashrullah, tangan belum di saku, peluru sudah penuh lagi,” katanya. Peluru pun memenuhi saku-saku pasukan yang sudah meninggal.
Lalu seorang kapten Belanda ditembak oleh rekan Kiai Uti. Tiga kali tembakan tepat mengarah ke badan kapten itu, tetapi sang kapten seolah tidak mengalami apa-apa.
“Ya ora iya ora mbuh,” katanya saat tim media Buntet Pesantren temui di kediamannya, Selasa (11/7/2017). Sang kapten tetap kokoh berdiri seperti tank baja yang ada di belakangnya.
Melihat hal aneh tersebut, veteran yang tiga tahun lagi usianya genap seabad itu langsung bertindak mengambil alih. “Bukan musuh kamu, ini musuh saya,” ujarnya.
“Mau sebesar gunung, ataupun sedalam dan seluas lautan, jika Allah yang melempar, hancur bli wurung (pastilah hancur),” katanya dengan penuh keyakinan.
Menantu KH Yusuf Abdul Mu’ti Buntet Pesantren itu lalu membaca sebagian ayat 17  surat Al-Anfal, berikut.
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَ لَكِنَّ اللهَ رَمَى … الاية
Wa maa romaita idz romaita wa lakinna Allaha roma
Usai membaca ayat tersebut, “Dor!” ia membunyikan suara tembakan. Ia menembak kapten yang kebal itu pada jarak belasan meter. Benar saja, kapten tersebut tersungkur, mati.
Kiai yang tinggal di Desa Astanajapura itu sampai sekarang masih sehat. Mata tidak buta, pun telinga tidak tuli. Hal tersebut menurutnya, karena senantiasa mendawamkan membaca istghfar dan shalawat. Ia tak tertembak. Kanon jatuh di depannya. Pasir-pasir di tempat tersebut menimbunnya. Saat tertimbun itu, ia terus membaca shalawat dan istighfar sampai akhirnya pandangannya kembali terbuka.
(Syakirnf)