Kajian-Kitab

Isra’ Mi’raj (Bagian I)

Sumber: Belitung.tribunnews.com

Oleh : Muhammad Hamdi Turmudzi Noor*
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya:   Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjid Al-Haram ke Al-Masjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Sebab Turunnya Ayat

Asbab an-nuzul ayat ini sebagaimana menurut Abu Hayyan (penulis Tasir Al-Bahr al-Muhith. Wafat tahun 1334 M/745 H) adalah bahwa ketika Rasulullah SAW menceritakan tentang diperjalankannya beliau pada malam hari, penduduk Mekkah mendustakannya, lalu Allah menurunkan ayat ini.

Kaitan dan kesesuaian Surat Al-Isra’ dengan Surat sebelumnya, yakni An-Nahl, adalah bahwa ketika Allah SWT memerintahkan Nabi SAW untuk bersabar dan melarang beliau untuk bersedih dan gelisah dari tipu daya mereka –di mana di antara tipu daya mereka adalah menuduh Rasulullah SAW berdusta, melakukan sihir dan membuat sya’ir-, maka Allah menanggapi tuduhan mereka dengan kemuliaan Rasulullah SAW, keutamaan dan keluhuran kedudukan beliau di sisi-Nya dengan menyebut Isra’ pada awal Surat ini.

Penjelasan Ayat

Hikmah diawalinya Surat Al-Isra’ dengan tasbih bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, orang Arab akan ber-tasbih pada sesuatu yang menakjubkan. Seakan-akan Allah membuat takjub makhluknya dengan meng-isra’-kan Rasulullah SAW. Kedua, sebagai bantahan kepada mereka yang mendustakan Isra’. Sehingga maknanya adalah “Maha Suci Allah dari menjadikan Rasul-Nya sebagai pendusta”.

Kata “سُبْحانَ” adalah isim mashdar dari “التَّسبِيح”. Ia hampir selalu digunakan sebagai mudhaf. Terkadang kata ini juga dijadikan sebagai nama seseorang, sehingga tidak di-mudhaf-kan dan tidak bisa diberi tanwin. Kata “سُبْحانَ” dibaca nashab (fathah) dengan memperkirakan fi’il yang dibuang, yakni “أُسَبِّحُ اللهَ سُبْحانَ”.

Kata “أَسْرَى” menurut ahli bahasa berarti perjalanan di malam hari sebagaimana “سَرَى”. Dua kata tersebut adalah lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan obyek/maf’ul bih). Huruf hamzah pada kata “أَسْرَى” tidak berfungsi membuat kata ini menjadi muta’addi (kata kerja yang membutuhkan obyek/maf’ul bih). Muta’addi-nya dengan dengan huruf Ba pada kata “بِعَبْدِهِ”.

Umat Islam sepakat bahwa yang dimaksud dengan hamba pada kata “بِعَبْدِهِ” adalah Sayyiduna Muhammad SAW. Syeikh Zakaria Al-Anshari (w. 1520 M/926 H) mengatakan bahwa Allah SWT memilih menggunakan kata “بِعَبْدِهِ”, bukan “بِنَبِيِّهِ” atau “بِحَبِيبِهِ” agar umat beliau tidak tersesat seperti Nasrani, atau karena gelar “hamba” yang disandarkan kepada Allah adalah kedudukan yang paling mulia. Selain pada ayat ini, dalam beberapa ayat lainnya Allah juga menyebut Nabi-Nya dengan “hamba-Nya”, seperti pada awal Surat Al-Kahfi, Al-Furqan dan An-Najm ayat 10.

Kata “لَيْلاً” menjadi zharaf yang berfungsi menguatkan. Kata ini digunakan untuk menghilangkan dugaan bahwa “أَسْرَى” bermakna perjalanan pada siang hari. Az-Zamakhsyari (w. 1144 M/538 H) mengatakan bahwa penggunaan kata “لَيْلاً” dengan rupa nakirah (tanpa Alif-Lam) adalah bermakna bahwa perjalanan Isra’ ini terjadi dalam waktu yang sebentar. Abu Umamah bin An-Naqqasy (1361 M/763 H) mengatakan bahwa malam di mana peristiwa Isra’ terjadi adalah lebih utama daripada malam Qadr untuk diri Rasulullah SAW. Sedangkan untuk umat beliau, malam Qadr lebih utama karena lebih baik daripada seribu bulan.

Kata “مِن” dari kalimat “مِنَ المسجِدِ الحَرامِ” bermakna ibtida’ al-ghayah (awal dari suatu tujuan). “الحَرام” adalah lawan kata dari halal, karena ada hal-hal terlarang di tanah Haram namun diperbolehkan di negeri-negeri lainnya. Al-Mawardi (w. 1058 M/450 H) mengungkapkan bahwa setiap kalimat “المسجِدِ الحَرامِ” di dalam Al-Qur’an, maka yang dimaksud adalah tanah Haram, kecuali firman Allah: فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ di dalam Surat Al-Baqarah, maka yang dimaksud adalah Ka’bah. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa “Masjid Al-Haram” dalam Surat Al-Isra’ ini maksudnya adalah Mekkah, karena Rasulullah SAW berada di rumah Ummi Hani binti Abi Thalib, saudara perempuan Ali bin Abi Thalib.

Masjid pertama yang dibangun di atas muka bumi adalah Masjid Al-Haram, masjidnya kota Mekkah. Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihaindari Abu Dzar ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang masjid yang pertama kali dibangun di atas muka bumi. Beliau menjawab: “Masjid Al-Haram”. Aku bertanya: “Kemudian masjid apa?”. Beliau menjawab: “Masjid Al-Aqsha”. Aku bertanya: “Berapa jarak di antara keduanya?”. Beliau menjawab: “Empat puluh tahun”.

Kata “إِلَى” dalam “إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى” bermakna intiha’ al-ghayah (akhir suatu tujuan). Dalam ayat ini tidak ada bukti secara lafal bahwa Rasulullah SAW memasuki Masjid Al-Aqsha. Akan tetapi indikator menunjukkan bahwa beliau memasukinya. Indikator tersebut berupa pengetahuan bahwa beliau diperjalankan ke Masjid Al-Aqsha agar memasukinya. Sangat jauh kemungkinannya beliau diperjalankan ke sana namun tidak sampai memasukinya. Hadis shahih menguatkan indikator tersebut.

Masjid Al-Aqsha –disebut juga Bait al-Maqdis- pertama kali dibangun oleh Nabi Ya’qub bin Ishaq ‘alaihima as-salam 40 tahun setelah Nabi Ibrahim membangun Ka’bah. Kemudian Nabi Sulaiman memperbarui bangunannya. Ketika Nabi Sulaiman membangun Bait al-Maqdis, beliau memohon tiga hal kepada Allah. Pertama, beliau meminta kerajaan yang tidak seharusnya diberikan kepada salah seorang pun setelahnya, lalu Allah memberikannya. Kedua, beliau meminta hukum yang sepakat dengan hukum Allah, lalu Allah pun memberikannya. Ketiga, beliau meminta bahwa siapa pun yang mendatangi Bait al-Maqdis dan ia tidak menghendaki kecuali shalat di dalamnya, agar dihapuskan dari dosa-dosanya sebagaimana bayi yang baru dilahirkan ibunya. Rasulullah SAW bersabda: “Aku berharap Allah telah memberikan permintaan ketiga ini”.[2]Kata “Al-Aqsha” artinya “jauh”. Dinamakan demikian karena jauhnya jarak antaranya dan Masjid Al-Haram.

Firman Allah “الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ”. Berkah artinya bertambah dan berkembang. Ar-Raghib Al-Ashfahani (1108M/502 H) mengatkan bahwa “berkah” adalah tetapnya kebaikan ilahi di dalam sesuatu. Jika dikatakan: “mengapa yang diberkahi adalah yang di sekelilingnya, bukan di dalamnya atau di atasnya? Padahal keberkahan di dalam masjid lebih banyak daripada di luar masjid”. Maka kami menjawab: “Yang dimaksud di sini adalah keberkahan duniawi seperti sungai-sungai yang mengalir dan pohon-pohon yang berbuah. Demikian itu berada di sekelilingnya, bukan di dalamnya”. Dikatakan pula bahwa keberkahan ini bersifat agamawi, karena Masjid Al-Aqsha adalah tempat menetap dan beribadahnya para Nabi, serta tempat turunnya wahyu dan malaikat. Adapun keberkahan itu berada di sekelilingnya agar keberkahan itu lebih meluas dan umum.

Kata “مِنْ” dalam “لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا” bermakna tab’idh (sebagian). Ada banyak hal menakjubkan yang dilihat pada malam itu. Ada banyak pula tanda-tanda (ayat-ayat) yang membuktikan kekuasaan Allah. Di antaranya adalah perjalanan Isra’ hanya terjadi dalam waktu yang sekejap di mana normalnya ketika itu adalah membutuhkan waktu satu bulan.

Dhamir pada kalimat “إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ” adalah kembali pada lafal Jalalah (Allah). Sebagian peneliti mengatakan bahwa mungkin juga dhamir tersebut kembali pada kata “عَبْدِهِ”, yakni Nabi SAW. Karena beliau mendengar kalam Allah dan melihat Dzat-Nya.


*Penulis adalah warga Pondok Buntet Pesantren


[1] Sebuah resume dari kitab Wahuwa Bil Ufuq al-A’la karya As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (w. 2004 M)
[2] Hadis riwayat An-Nasa’i, Ibn Majah dan lainnya.