feature gallery Kyai Buntet Opini Tulisan Santri

Idul Fitri Imajiner

Fajar sudah menampakkan dirinya, lalu adzan sementara menggantikan takbir yang hampir semalaman sudah non stop menyebar melewati kali cabang, mengitari desa, menjejak lapangan samrel-asem-albaz-sampai ke blodog.

Setelah fajar pergi perlahan digantikan senyum mentari pagi, tak terasa Masjid Jami’ Buntet Pesantren dan pelatarannya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang begitu bersemangat untuk bersyukur bersama merayakan kemenangan. Ada perasaan haru bercampur bahagia di sana.

Saat takbir tengah berkumandang, aku merasa begitu bersyukur bisa hadir di tengah-tengah Masjid Jami’ Buntet Pesantren, aku merasa begitu bahagia bisa hidup di tengah masyarakat yang dalam setiap lini kehidupannya terasa ada nafas islam yang begitu kuat. Aku menunduk kian dalam, lamat-lamat aku turut bertakbir mengiringi suara jamaah yang lain, dan mendadak aku merasa di sekelilingku ada wajah-wajah yang teramat teduh dan damai. Ada ratusan wajah yang seolah memancarkan cahaya dalam Masjid yang begitu sakral tersebut, sebagian wajah sudah saya kenal baik secara langsung atau melalui foto-foto dan cerita-ceria yang beredar di sekitarku, sebagian lagi hanya kubayangkan dan kutebak-tebak karena wajah-wajahnya mirip dengan para Kiai yang sekarang alhamdulillah masih membimbing dan mengarahkan hidup kami.

Orang yang paling pertama ku lihat adalah Kiai Imam Abdul Mun’im, orang yang tengah melihat-lihat jadwal sholat di belakang pintu masjid. Melihat jadwal sholat yang di sana tercantum namanya membuat beliau tersenyum karena beliau masih bermanfaat meski beliau sudah tidak bisa beramal secara langsung, senyumnya kian lebar ketika beliau mengingat ilmu falak yang diwariskannya masih dijaga oleh anak cucunya bahkan sudah terbentuk komunitas yang khusus menekuni ilmu tersebut dan rutin melakukan hisab dan ru’yat menjelang Hari Raya.

“Ma sya Allah!!!, itu mungkin Kiai Akyas” pekikku dalam hati sambil mengarahkan pandangan ke sosok yang terus memasang muka tegas namun seperti sedang memikirkan sesuatu, bisa jadi beliau tengah menjaga hafalannya terhadap ribuan hadits yang sanadnya terus bersambung sampai Rasulullah.
Pandanganku bergeser sedikit dari Kyai Akyas, ada sosok yang dari gerak bibirnya seperti tengah merapalkan Sholawat Fatih, sesekali senyum tersungging di wajahnya, mungkin karena malam kemarin, pada acara Mata Najwa -yang menyiarkan “Belajar dari Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan”- tidak (jadi) menayangkan segmen saat Kiai Said Aqil menceritakan kepada Kiai Solehudin Wahid perihal bantuan dari Buntet khususnya Kiai Anas yang mengajak Kiai Hasyim dan santri-santri pertamanya untuk puasa 41 hari demi pondok Tebu Ireng yang baru didirikan. Dari senyumnya, saya menangkap kesan bahwa beliau konsisten untuk meredupkan sinarnya yang sebenarnya sangat terang benderang.

Mataku kembali bergeser, sambil setengah tertunduk karena ragu antara rindu dan ta’dzim kepada para Kiai tadi, hampir saya menjerit girang ketika aku menemukan Panglima Besar Perang Sabil 10 November, alhamdulillah aku masih menjaga sikap dan menutupi segala perasaan takjubku dengan segala kiprah dan peran beliau demi agama, bangsa, dan negara. Namun, di baliknya jernihnya wajah beliau, saya sedikit menangkap kesan prihatin yang mendalam, mungkin karena hatinya terus memikirkan bangsa dan agama yang masih jauh dari cita-cita perjuangannya dahulu.

Saya membuka mata, namun nama-nama yang tadi kusebutkan mendadak hilang dari pandangaku, dengan pelan-pelan pandanganku coba menelusuri seluruh sisi Masjid, namun tak juga kutemukan wajah-wajah teduh tadi. Aku mendesah, lalu kembali menutup mata dan mencoba menghayati setiap lantunan takbir yang ku dengar dan ku ucapkan, alhamdulillah ucapku setelah wajah-wajah teduh kembali ada di seisi masjid.

Terlalu banyak wajah yang begitu membuat ku merindu meski baru ku jumpai,  ada sosok yang terus melantunkan Qur’an, Kiai Murtadho Said batinku berucap. Ada Kiai Busyrol Karim yang tampaknya semalaman terjaga demi nirakati Buntet, ada rona lelah di wajahnya namun tidak mengurangi kebahagiaan beliau dalam menyambut hari kemenangan.

Di tengah-tengah Kiai Abbas, Kiai Akyas, Kiai Anas,  Kiai Ilyas, dan Kiai Ahmad Zahid, ada Kiai yang kian membuat kepalaku tertunduk, pancaran ilmu, wibawa, dan kebijaksanaan membuatku yakin bahwa beliau adalah Kiai Abdul Jamil, ayahanda dari semua nama Kiai yang barusan ku sebutkan sebelumnya. Aku penasaran mencari saudara-saudara laki-laki beliau baik (saudara kandung maupun ipar), Kiai Kriyan nampaknya hadir di tengah-tengah Keraton karena beliau adalah mufti di sana, Kiai Said mungkin lebih memilih menjumpai anak cucunya di Gedongan, Kiai Soleh Zamzami hampir dipastikan di pondok Benda Kerep sehingga Kiai-kiai tadi dan beberapa Kiai lainnya yang merupakan saudara Kiai Abdul Jamil tidak bisa ku jumpai.

Lamunanku hilang ketika sholat ‘id akan dimulai, lantunan ayat-ayat suci Al qur’an yang dibacakan Imam sholat membuatku membayangkan suara tersebut berasal dari Kiai Fuad Zein, Sang Qori Internasional atau bahkan Kiai Zainal Abidin (Kiai Zein) -Kiai yang konon merupakan generasi pertama yang ditugaskan Kiai Abdul Jamil untuk menekuni Al Qur’an- padahal sebenarnya yang kudengar adalah suara merdu Kiai Tajudin Zein, adik Kiai Fuad Zein sekaligus anak dari Kiai Zein.

Entahlah, apa jadinya dengan shalatku yang satu tahun sekali ini karena terus berkutat pada kenangan “merdu” yang sebenarnya tidak pernah ku alami hingga tak terasa shalatpun telah usai. Lalu saat, Kiai Adib Rofiuddin menyampaikan khotbahnya, entah mengapa saya jadi seolah melihat Kiai Izzudin Zahid yang tidak hanya ‘alim dalam ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum dan bahkan Bahasa Inggrisnyapun aktif.

Saat bersalam-salaman, aku menatap sekeliling, masih banyak wajah-wajah teduh yang tidak bisa kusebutkan satu persatu, namun ada beberapa wajah yang masih begitu ku cari dan belum aku temukan. Setelah lama ku cari, akhirnya di latar masjid aku melihat dua sosok yang begitu ku cari tadi, Kiai Muta’ad tampak menunduk, beliau tetap konsisten dengan pesannya dahulu agar menanggalkan gelar kebangsawanan (baca: Raden) dan rendah hati, di sampingnya persis ada kakek mertuanya yang tampak segar bugar meskipun sepanjang tahun dan bahkan bertahun-tahun beliau puasa menirakati banyak hal, Kiai Muqooyim tampak sesekali manggut-manggut karena tatanan yang telah susah payah dibangunnya masih dijaga oleh keturunannya, namun sesekali juga beliau menggelengkan kepala karena perjuangan ternyata belum usai dan masih panjang.

Foto beberapa Kiai Buntet Pesantren, tampak yang di tengah adalah Kiai Mustahdi Abbas


Foto-foto lain bisa dilihat di Album Kenangan atau Kyai-kyai Buntet Pesantren