Hukum Berkumur Saat Berpuasa
Sumber: NU Online |
Dalam berpuasa, kita mungkin bertanya-tanya perihal berkumur dan menghisap air ke hidung itu masih disunnahkan atau tidak. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan selanjutnya, jika airnya yang masuk melalui mulut dan hidung itu terlalu deras sehingga tertelan atau masuk dalam tubuh bagaimana hukum puasanya. Tulisan berikut akan sedikit membahas hal tersebut.
Ada banyak sebab orang berkumur. Jika seseorang berkumur karena bermaksud menyucikan bagian dalam mulutnya yang najis, lalu tanpa sengaja airnya tertelan, maka puasanya tidak batal.[1]
Berkumur dan istinsyaq(memasukkan air ke dalam hidung) dalam berwudhu tetap disunnahkan bagi orang yang puasa. Jika air kumur atau istinsyaq tanpa sengaja terlanjur masuk ke dalam tubuh seseorang, sedangkan ia tidak berlebihan, maka puasanya tidak batal.
Jika ia berlebihan dalam berkumur atau istinsyaq, lalu airnya tertelan masuk, maka puasanya batal. Begitu pula jika berkumur atau istinsyaq untuk sekadar menyegarkan mulut atau yang keempat kalinya dalam wudhu –sunnahnya hanya tiga kali, lalu airnya tertelan maka puasanya batal.[2] Bekas air kumur yang menempel di dalam mulut tidak membatalkan puasa jika ditelan bersama air ludah, meskipun sengaja menelannya.
Jika air terlanjur masuk ke dalam tubuh seseorang yang mandi wajib, seperti mandi janabah atau mandi haid, maka tidak membatalkan puasa, selama mandinya tidak dengan cara menyelam. Jika mandi wajibnya dilakukan dengan menyelam, lalu air masuk melalui telinga atau hidungnya, maka puasanya batal. Begitu pula air yang masuk karena mandi biasa atau mandi sehari-hari, maka puasanya batal.
Kesimpulan: Ulama membuat kaidah tentang hal ini, yaitu jika air terlanjur masuk (tanpa kesengajaan) ke dalam tubuh karena melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan agama, maka puasanya batal. Jika karena sesuatu yang diperintahkan –termasuk yang disunnahkan-, maka tidak batal.[3]
(Muhammad Hamdi Turmudzi Noor)
[1] Zainuddin Al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan), hal. 56
[2] Sulaiman Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, juz 3, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hal. 111
[3] Abu Bakr bin Muhammad Syatho, I’anah ath-Thalibin, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal 265.