Opini

Dilema Penggunaan Bahasa Jawa untuk Memaknai Kitab Kuning

Santri Buntet sedang mengaji di Masjid Agung Buntet Pesantren
Oleh: Muhammad Fayyadl Hazami*

Di dunia pesantren, kita mengenal istilah metode makna pegon, yaitu sebuah metode dengan cara menerjemahkan kata per-kata teks kitab kuning ke dalam bahasa Jawa, serta diselipkan kode-kode yang menunjukkan tarkibnya (fungsinya) sesuai dengan kaidah nahwiyah. Hal itu diciptakan untuk mempermudah para santri dalam memahami teks kitab kuning yang notabene berbahasa Arab. Namun pada praktiknya, seringkali para santri justru tidak memahami makna bahasa Jawa tersebut. Biasanya, hal itu disebabkan bahasa Jawa yang digunakan terlalu kuno atau tidak sama dengan bahasa Jawa di daerah mereka.
Ambil contoh, kata bahasa Arab ‘amidan dimaknai dengan bahasa Jawa moho. Kata moho berarti sengaja dalam bahasa Indonesia. Tetapi, banyak santri yang kurang familiar dengan kata tersebut karena mereka tidak menggunakannya dalam percakapan bahasa Jawa sehari-hari. Mereka lebih sering menggunakan kata sengaja. Dari sini, banyak kiai di beberapa pondok pesantren berinisiatif untuk memodernisasi makna pegon yang selama ini digunakan, demi lebih memudahkan ‘santri-santri zaman now’ untuk memahami kitab kuning. Hasilnya, kita lebih sering mendengar kata ’amidandimaknai dengan sengaja dibandingkan dengan moho.
Hal inilah  yang dilakukan oleh Syaikhuna Mbah KH Abdul Hamid Anas, Buntet Pesantren. Beliau pada sekitar tahun 2012, kalau penulis tidak salah dengar dari rekannya, ngendika bahwa sekarang santri tidak begitu paham dengan makna Jawa. Maka kiai harus menyesuaikan para santrinya. Salah satunya dengan cara memberikan pemaknaan menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh santri. Dalam arti lain, Kiai Hamid membuka kran pemaknaan yang bebas, tidak harus terpaku dengan bahasa Jawa kuno. Oleh karena itu, pada saat itu,  Kiai Hamid lebih sering memaknai teks kitab kuning menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, beliau juga kerap kali memberikan makna Jawa yang beliau terima dari gurunya yang kemudian beliau terjemahkan lagi dengan bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh para santrinya.
Lain halnya dengan Syaikhuna Yai Nurul Huda Ploso, Kediri. Beliau pada satu kesempatan pernah menyampaikan ketidakcocokannya atas modernisasi makna pegon tersebut. Menurut beliau, biarlah makna pegon digunakan apa adanya sesuai dengan apa yang pernah didengar dari bacaan sang guru. Sederhananya, jika makna yang kita dapatkan dari kiai kita adalah moho, maka ketika kita membacakan pada murid kita pun harus dengan makna moho. Di samping dapat menjaga keotentikan makna, cara tersebut juga dianggap dapat menjaga sanad makna yang sangatlah penting. Lebih jauh dari itu, beliau menambahkan, “Dengan menggunakan makna yang sulit dimengerti, pemahaman yang didapat nantinya akan lebih maksimal!” Demikian kurang lebih dawuh beliau yang penulis ingat. Dawuh beliau tersebut mengingatkan penulis pada salah satu penjelasan dalam Alfiyyah bab Tamyiz,
لأن الأتي بعد الطلب أعز من المنساق بلا طلب
“karena sesuatu yang hadir melalui usaha akan lebih berkesan dibanding tahapan tanpa usaha”
Namun dari perbedaan pandangan itu, kita harus mengerti bahwa semuanya mengarah pada tujuan yang sama, yaitu mencetak kader-kader kiai masa depan yang memiliki kualitas mumpuni. Metode boleh berbeda, namun tujuan pesantren mencerdaskan bangsa ialah yang utama. Wallahu a’lam.

*Warga Buntet Pesantren yang kini sedang ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Ploso, Kediri