Uncategorized

Berbagi Peran Demi Meraih Kemenangan/Kemerdekaan

Merdeka itu ibarat gol atau kemenangan dalam permainan Sepak Bola yang didapatkan dari usaha kolektif, saling bahu membahu. Semua elemen dari tim atau bangsa punya peran masing-masing untuk mencapai kemenangan atau kemerdekaan.

Ada penyerang yang mungkin hampir selalu dielu-elukan karena gol(-gol)nya telah mengantarkan timnya pada kemenangan, ini ibarat para pahlawan yang punya peran “tampil” di garda terdepan, perannya memang bisa dibilang paling vital, para negosiator dan pemimpin yang bersuara lantang menggelorakan semangat juang rekan-rekan perjuangannya, nama-nama seperti Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Jenderal Sudirman, dan sebagainya nampaknya merupakan sosok-sosok yang menjalani peran penyerang demi mendapatkan kemenangan.

Lalu ada Playmaker yang mengatur arah perjuangan, mereka pintar membaca situasi, kapan harus menahan bola, kapan harus mengoper maju, kapan harus mengoper mundur, kapan harus mengubah arah permainan, dan kapan merengsek maju dan mengambil alih peran penyerang untuk mencetak kemenangan. Peran ini dimainkan oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta, RA. Kartini, Ki Hajar Dewantoro, H. Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, dan sebagainya.

Ada juga peran gelandang bertahan yang dikenal sebagai peran yang “kotor” karena terkesan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan, peran ini nampaknya begitu fasih dimainkan oleh Syutan Syahrir, Tan Malaka, Supriyadi, Adam Malik, dan lain sebagainya. Ada yg dibilang pemberontak, ada yang dibilang menghianati institusi, dan ada yang diduga agen CIA, tapi mungkin mereka menganggap itu adalah resiko dari peran yang dimainkannya, tidak jarang mereka malah “dikartu merah” dan disingkirkan serta tidak dilibatkan dalam mencapai kemenangan.

Di bagian pertahanan, ada nama-nama yang sangat tidak dikenal, keberhasilannya tidak dianggap segemilang penyerang yang mencetak gol, padahal mereka berjibaku mengorbankan segalanya namun sejarah tidak mencatatnya dengan tinta emas bahkan banyak alpa dalam pencatatannya. Mereka adalah para pejuang Hizbullah dan Sabilillah yang tanpa pamrih, tanpa tanda jasa, dan tanpa gentar mengusir musuh yang di atas kertas jauh lebih unggul dari mereka.

Lalu, tidak terlewat adalah peran Kiper yang dijalankan oleh sosok-sosok yang “terkesan” berdiri di garis paling belakang, tersembunyi, dan tidak dikenal padahal mereka yang paling menjaga negeri dengan mengkomandoi pertahanan, mereka juga memiliki pandangan yang paling luas sehingga bisa memberikan arahan kepada pemain-pemain lain agar tidak salah dalam membangun serangan atau membangun pertahanan. Kerap kali, ketika pemain lain sudah tidak sanggup membendung serangan, sosok-sosok ini akan tampil dan rela “dibombardir” demi mempertahankan Negeri agar tidak jatuh ke tangan musuh, bahkan dengan gagah berani mereka kerap maju menjalankan peran-peran yang lain hingga tidak jarang begitu beresiko cidera dan tidak mampu melanjutkan perjuangan.
Mereka adalah para Kiai yang ikhlas, yang tidak hanya dekat dengan rekan perjuangan tetapi juga dengan Allah Yang Mengatur Segalanya, peran ini dijalankan dengan begitu apik oleh Kiai Hasim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Abbas Abdul Jamil, Kiai Zaenal Mustofa, Kiai Mahfudz Salam, dan Kiai-kiai lain yang kisah heroiknya kerap tidak didengungkan dan tertutup oleh peran pemain-pemain yang lain. Beberapa dari mereka bahkan tidak jelas kondisinya sampai sekarang karena serangan lawan/musuh yang membabi buta.

Mari sekali-sekali kita bersikap objektif menghargai semua peran dari “pemain”, tidak hanya pemain-pemain dari peran tertentu tetapi semua pemain dari semua peran yang telah meraih kemerdekaan tidak hanya untuk mereka tetapi juga untuk kita, minimalnya dengan mendoakan semuanya, lahum alfaatihah

Tim Redaksi Website Buntet Pesantren